Terus terang, selain di luar sana hujan masih deras, Prilly sama sekali tidak mau keluar kelas karena ya pasti bakalan kena bully kalau dia nongkrong sambil makan kacang kulit di kantin.
Seperti yang tidak tahu Ali saja.
Jam segini, selisih lima menit, setelah bel istirahat dibunyikan, cowok itu dengan pakaian acak adutnya pasti sudah nongkrong di kantin bersama kedua anteknya.
Bisa Prilly jamin, sambil duduk dengan menaikkan satu kakinya di kursi rotan kantin, Ali dan teman-temannya akan tertawa terbahak-bahak di selingan waktunya bersama sekaleng soda dan sebungkus kuaci. Seperti kemarin lalu, Ali sengaja mengumpulkan kulit kuaci banyak-banyak dan melempar ke bangku tempatnya duduk, seperti memberi makan hewan di kebun binatang.
Yang lebih parahnya lagi, teriakkan kata gendut tak akan pernah lepas dari mulutnya.
"Ndut, nitip sampah ya? Berat. Badan lo kan gede, jadi kuat. Hehe."
Kasian, mungkin iris mata Ali memang membutuhkan suplemen yang lebih, agar dia tahu, bahwa ukuran tubuh ideal itu seperti tubuhnya yang sekarang.
Gendut dari mana, coba?
Tapi karena Prilly ogah berdebat dan selalu berujung pada suatu pertengkaran, maka dengan amat terpaksa dia membekukan ucapannya. Tidak mau terlalu banyak merespon obrolan yang nggak ada faedahnya.
Dengan hormat, perlu Prilly tegaskan bahwa dia masih ingin menjaga nama baik dirinya. Kalau sudah bertengkar dengan Ali, Prilly yakin seribu persen, semua lorong akan tahu, akan menjadikan momen pertengkaran itu sebagai ajang lelucon receh.
"Dua puluh menit lagi masuk, yakin nggak mau ke kantin? Reno ada payung, kalau mau pakai," Amel berkata pelan. Tapi berhubung kelas sudah terlanjur kosong, jadi suara Amel sedikit menjadi lebih nyaring dan mulai berlomba dengan suara hujan dari luar sana.
Karena tekadnya memang sudah terlanjur bulat untuk tidak ingin keluar ke mana-mana, maka dengan halus, dia menolak keinginan Amel. Prilly tahu, Amel tidak bisa kalau tidak menginjak kantin. Di kantin, cewek bermata belo itu bisa menikmati seluruh gerak-gerik Niko bersama sekelompok kawanan Ali yang asyik membuka kulit kuaci dan melempar kulit ke arah mejanya.
Prilly menganggap hal itu adalah sebuah perilaku yang merendahkan martabatnya sebagai perempuan. Tapi Amel malah seolah asyik dengan bentuk perilaku yang Ali berikan. Malahan Amel juga ikut melempar kulit kacang ke meja Ali, bermaksud untuk mencari perhatian dari Niko.
"Kalau kulit kuaci sama kulit kacang doang aja yang dilempar ya kurang seru, sekalian aja botol Mizon!" dan botol Mizon melesat dari tangan Prilly dan mendarat tepat di kening Ali.
Mungkin kening Ali saat itu memanas, dikarenakan botol Mizon yang Prilly lempar tidak benar-benar kosong. Masih ada, walau hanya setengah bagian. Saat itu, semua mata langsung tertuju pada bangku Prilly. Prilly mengira, ini adalah waktu yang tepat untuk membalaskan dendamnya ke Ali. Dengan begitu, dia yakin, harga diri Ali akan jatuh secara drastis gara-gara sebotol Mizon.Paginya, setelah kejadian itu, kening Ali dihiasi oleh handsaplast, dan Prilly sama sekali tidak peduli.
"Yah, sebentar aja!" rengek Amel lagi.
Prilly menimang.
Bagaimana ya? Prilly super-duper malas bila harus bertemu dengan Ali. Tapi kalau sudah menyangkut soal keinginan si kulit kuning langsat dari Bandung ini, ya mau bagaimanapun, Prilly harus bersedia menemaninya. "Hmm."
"Buru."
"Sabar."
"Ren, pinjem payung!"
Singkat cerita, masalah Reno dengan payung biru yang selalu dia bawa ke mana-mana. Dia adalah satu-satunya cowok yang sama sekali tidak bisa terkena hujan. Kemarin gerimis, Reno terpaksa keluar kelas pergi ke ruang kesiswaan, ada yang perlu dia urus, di tengah pelajaran, Reno langsung demam dan mendadak flu.
KAMU SEDANG MEMBACA
FAT ✔
Fiksi PenggemarHIGH RANK #1 in Alpril - 26/02/19. RANK #11 in Alpril - 20/08/21 RANK #28 in Alpril - 12/09/21 RANK #21 in Alpril - 14/09/21 RANK #20 in Alpril - 18/09/21 [COMPLETE] Prilly terhenyak, merasakan Ali menggeleng saat memeluk dirinya. "Gue udah cukup ke...