20: Luka

3K 397 21
                                    

Tiba-tiba saja, Prilly merasa cemas.

Sebelum Faga pingsan seperti sekarang ini, cowok itu sempat kehabisan napas. Napasnya tercekat, seiring air matanya tumpah ruah.

Ini kali kedua, seorang cowok menangis di hadapannya setelah Ali di danau kemarin.

Mendadak, suasana malam hari ini terasa lebih hampa, dari malam biasanya. Hanya ada suara detakan jam dari ruang tamu yang terdengar. Beruntungnya, Mama dan Papanya tidak ada di sini, bila mereka hadir, Prilly tidak yakin bisa menuntun Faga masuk ke dalam rumah.

Hari sudah semakin gelap, tapi sama sekali tidak ada hal yang bisa Prilly lakukan selain membaluri seluruh akses kulit Faga menggunakan minyak kayu putih, terutama pada indra penciumannya.

Prilly mendecak, "Astaga, kenapa gue nggak nelpon Ali aja, sih?!"

Sepuluh detik kemudian, ponsel Prilly terhubung dalam sambungan teleponnya.

Astaga, ini kali pertamanya ia menelepon Ali. Dan dalam masa darurat.

Sambungan pertama...

Prilly menarik napasnya dalam-dalam, lantas menengok keadaan Faga yang belum juga sadar.

Sambungan kedua...

Jantung Prilly semakin mencelos. Hari sudah semakin gelap.

Sambungan ketiga...

"Halo? Kenapa, Ndut?"

...cewek itu menghela napas legah. "Faga nggak sadarin diri di rumah gue. Lo ke sini sekarang, ya?"

Ada suara decakan dari ujung sambungan yang terhubung. "Gimana bisa? Ngapain dia pakai pingsan segala di rumah lo? Ya gitu tuh, kalau kurang belaian, bisanya cari muka sama pacar orang."

Shut up!

"Li, jangan debat sekarang. Dia jauh butuh lo sekarang. Sejak sore dia pingsan."

Prilly tidak tahu, apa yang ada di benak Ali sekarang. Sedang telepon terputus secara sepihak, layaknya seseorang yang kesal setelah direnggut habis kebahagiaannya.

Dan lagi, ini tentang Prilly yang masih belum bisa bertindak lebih lanjut setelah menerima Ali menjadi miliknya malam itu.

Barangkali, Ali merasa dirinya dinomor duakan setelah Faga. Ali mungkin merasakan hal layaknya; perhatian Prilly lebih memupuk pada Faga, daripada ke diri Ali sendiri.

Namun, bagaimana pun hal itu, Prilly tetaplah Prilly; cewek yang tidak bisa grusak-grusuk untuk mengambil tindakan lebih lanjut.

.
.
.

Mungkin memang benar, bertiga adalah sebuah luka; ini tentang Ali, Faga dan dirinya.

***

Di samping kiri, pedagang-pedagang kaki lima meluncurkan aksinya. Mereka bekerja, memberikan penyajian pada setiap pembeli.

Hari memang malam, tapi suasananya masih terbilang cukup ramai. Lampu-lampu jalanan masih menyorot terang. Hilir mudik kendaraan masih terjaga. Tidak macet memang, namun masih ramai.

Dari jalan kecil yang Amel telusuri, dia cenderung lebih hati-hati untuk menjaga dirinya sendiri. Kardigan tipis ia eratkan seerat-eratnya, karena terus terang, ia sangat risih berjalan sendiri di sebuah keramaian, apalagi ketika malam hari seperti ini.

Setelah berbelok memasuki gang kecil sebelah jalan raya, di depan sana terlihat segerombolan lelaki menggunakan baju hitam sebagai tanda pengenal mereka. Amel tidak melihat atau menghitung berapa jumlah di antara mereka. Lagi pula, hal tersebut bukan urusan Amel.

FAT ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang