Hamil

3.9K 280 27
                                    

Selamat membaca...

***

Shabina tengah membuka album foto berisi moment kebersamaannya dengan sang Ibu. Ini hanya akan membuatnya semakin sedih. Tetapi mau bagaimana lagi? Hanya ini satu-satunya cara untuk mengungkapkan kerinduan sekaligus penguat dalam menjalani kepahitan hidup setelah kepergiannya.

“Sha?” Meta memanggil diikuti ketukan pada pintu kamar.

“Iya Tan?” Sebelum turun dari ranjang, Shabina menyempatkan mengusap pelan kelopak mata berharap dapat menghilangkan kesedihan dari sana.

“Mas Jaya ingin menemuimu.”

“Jaya?” Shabina tersenyum kecut. Sebelum ini pun Ia sudah menduganya, cepat atau lambat Jaya pasti akan mencarinya kembali.

Laki-laki yang pada awalnya diharapkan dapat melengkapi kehidupan Ibu dan Shabina. Menyempurnakan status keluarga yang dimilikinya dan membungkam mulut mereka yang dulu sempat mengatai Shabina sebagai anak haram.

Tetapi … Harapan Shabina terlalu tinggi. Mimpi sederhana tersebut ternyata sulit untuk di kabulkan oleh sang Ayah tiri. Alih-alih memberi kasih sayang, justru yang Jaya lakukan hanya menyakiti dan terus menyiksa Ibunya. Baik secara fisik maupun secara mental.

“Shabina buka pintunya!!!” Dan itu dia suara Laki-laki yang dimaksud.

Masing-masing tangan Shabina terkepal erat. Kebencian terlihat jelas dari sorot matanya.

“Buka pintunya atau Ayah yang akan mendobraknya? Shabina!”

Shabina bergegas membuka pintu dan langsung melayangkan tamparan pada Jaya. “Jangan pernah memperlihatkan wajah anda dihadapan saya lagi. Saya sudah tidak sudi melihatnya,” ujarnya kemudian.

Jaya geram. Bisa-bisanya anak tirinya itu bersikap tidak sopan dan berbicara menggunakan saya-anda. Karena tidak mau dianggap lemah, Ia pun turut membalas dengan tamparan yang lebih keras.

“Mas Jaya. Apa yang kamu lakukan!” Meta tergopoh mendekati keduanya. Tadi, dirinya hanya ke dapur sebentar, sekedar mengambil minum untuk menyambut kedatangan Jaya.

“Kamu tidak apa-apa, sayang?” tanyanya pada Shabina.

Bagaimana bisa baik-baik saja, sedangkan tubuh Shabina sampai terhuyung. Jika tidak ada kusen pintu yag dijadikan pegangan, mungkin dirinya sudah ambruk ke lantai.

“Kenapa kamu menamparnya, Mas?” teriak Meta marah.

“Dia yang kurang ajar duluan,” Jaya membela diri.

“Karena Ayah jahat! Ayah hancurin masa depanku. Gara-gara Ayah, aku—“

“Ngocehnya di rumah aja. Ayo!”

“Lep—lepas! Aku gak mau!”

“Harus ikut! Kamu harus membantu Ayah mencari keluarga kaya itu lagi. Ayah sedang butuh uang yang banyak, dan hanya mereka yang bisa memberikannya.”

“Aku gak mau! Tante, tolong…,” rengek Shabina kemudian.

“Udah Mas, udah. Kasihan itu Shabina kesakitan.”

Beautiful Secret [[REVISI]]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang