7. Nyonya Hwang

1.3K 243 7
                                    

"Bagusnya di keritingin atau ga ya, Mbak? Saya bingung."

Suara seorang wanita berumur terdengar dari tempat duduk Wendy saat ini. Wanita yang kira kira berumur 40 tahunan itu masih terlihat muda. Wajahnya yang masih bersih walaupun kerutan sedikit demi sedikit terlihat tidak menghilangkan keanggunannya.

Tepat disamping wanita itu, ada Jennie yang masih setia dengan tidur lelapnya karena dipijat oleh staff salon. Jika tau dirinya ditelpon untuk mendengar dengkuran kecil Jennie, Wendy lebih memilih untuk menemani Minhyun di stan makanan tadi.

Wendy memilih berdiri dan duduk disamping kursi kosong yang tersedia diantara Jennie dan wanita yang masih bingung memilih antara keriting atau tidak tadi. Tangannya yang sedikit gemuk menepuk-nepuk pipinya sendiri, mencoba mengukur potongan apa yang kira-kira pas untuk ukuran wajahnya.

"Dek, menurut kamu, saya cocoknya di keriting atau tidak?"

Wendy terperanjat kaget. Matanya yang tadi terpaku pada buku model-model rambut kini beralih ke arah wanita yang mengajaknya bicara sekarang.

"Kalau kata saya mending ga usah deh, Bu. Ibu cantik apa adanya, cukup dipoles sedikit makeup aja." Saran Wendy.

Karena Wendy sendiri memang risih untuk melihat Ibu-Ibu kompleknya yang selalu menggunakan dandanan berlebihan, apalagi jika sedang ada acara arisan. Seberapa banyak dempul bedaknya Wendy tidak berani membayangkan. Ngeri.

Ibu tadi mengangguk, "jadi saya ga usah keritingin rambut ya?"

Wendy ikut mengangguk, menyetujui ucapan Ibu tadi, "iya, Bu."

"Ah makasih ya?..." Wanita itu membalikan kursinya pas menghadap Wendy. Pandangan matanya menyelidik.

"Wendy." Wendy memperkenalkan dirinya.

"Oke, Wendy. Terimakasih. Sarannya benar-benar membantu." Wanita itu terkekeh dengan senangnya diikuti anggukan anak remaja perempuan disampingnya yang ikut terkekeh dengan manis.

"Dengan senang hati, Ibu." Wendy menundukkan kepalanya.
.
.
.
Wendy memasuki kos dengan gontai. Tangannya menenteng 2 bungkus ayam goreng yang tadi dibelinya di jalan. Karena dia sudah makan, Jennie memilih untuk membungkuskan untuk Wendy. Sekalian juga punya Jaewon.

"Won! Jaewon!" Teriak Wendy saat menghampiri dapur.

Jaewon datang dengan rambut acak acakan dan baju yang sedikit basah karena habis mandi.

"Apaan?" Tanya Jaewon.

Wendy menunjuk kantung kresek berisi ayam goreng yang sudah diletakannya tadi.

"Dari Jennie, tadi gue habis jalan sama dia." Jelas Wendy saat melihat kerutan di dahi Jaewon tanda tidak mengerti saat ia menunjukkan kantung kresek tadi.

Jaewon mengangguk paham, tangannya dengan sigap membawa pemberian Jennie itu.

"Aduh gue tadi harusnya nemenin dia bukannya nemenin Bobby." Dengus Jaewon pelan.

Wendy mengangkat bahunya, "siapa suruh lo lebih milih si Bobby daripada Jennie."

"Ya kan gue harus setia kawan, bersatu kita teguh bercerai kita runtuh."

Wendy memutar matanya malas mendengar pembelaan Jaewon, "crazy."

"Yes yes!" Sahut Jaewon dengan logatnya yang sok di Inggris kan.

Wendy memilih untuk mengabaikan kegilaan Jaewon dan pergi ke kamarnya. Jika berurusan terlalu lama dengan Jaewon, kesabarannya bisa habis.

Malam ini sepi, karena mayoritas penghuni kos itu anak kuliahan dan rata-rata pasti sedang mengerjakan tugas. Ada yang pergi ke kampus. Ada yang masih sibuk dengan urusan organisasi.

Contohnya Sungwoon yang sekarang duduk bersila di karpet ruang tamu. Tangannya dengan lincah mengetik kata demi kata diatas keyboard laptopnya. Lembaran makalah yang tergeletak tidak berdaya menemaninya.

"Lo sibuk banget kayanya."

Wendy berdiri di tangga paling bawah dan menumpu tangannya diatas pembatas tangga.

Sungwoon langsung menoleh saat mendengar suara Wendy dan mengangguk. Tangannya berhenti untuk mengetik.

"Bisa stress gue lama-lama dihadapin sama peredaran darah kaya gini." Sungwoon melempar satu kertas dengan kesalnya.

Wendy terkekeh, "beruntung tapi kerjaan lo nanti pasti jadi dokter, nah gue?"

Sekarang Sungwoon yang tertawa kecil, "hidup punya jalan masing masing, just take it easy. Semuanya punya takdir, tanpa terkecuali lo. So, jalanin aja dan enjoy."

Wendy menepuk tangannya mendengar pernyataan Sungwoon, "widih puitis banget lo."

"Maklum habis ngeliat peredaran darah sama nama latinnya otak gue jadi puitis."

Wendy menggeleng, anak kos nya memang ga ada yang beres. Bahkan anak kesehatan kaya Sungwoon sama Hanbin sekalipun.

Kakinya kembali melangkah menaiki tangga meninggalkan Sungwoon yang juga kembali berkutat dengan kesibukannya.

Sebenarnya malam ini Wendy juga punya tugas yang jarus dikerjakan. Tapi berhubung sebagian besar sudah selesai, dan jadwal pengumpulannya masih satu minggu, Wendy memilih untuk mengerjakan di hari lain.

Kenapa? Karena menggunakan waktu luang untuk istirahat sejenak itu penting.

Hidup tidak hanya tentang tugas, kuliah, pulang malam, dan sebagainya. Tapi juga tentang bagaimana kita mengambil keuntungan untuk istirahat dan menggunakannya sebaik mungkin, itu adalah bukti dewasa sesungguhnya. Dimana kita sudah bisa dengan stabil membagi waktu.
.
.
.
Suasana ruang makan keluarga Hwang sekarang hening sekali. Tidak ada suara apapun selain dentingan sendok dan garpu yang menabrak piring putih.

Minhyun yang masih setia dengan makanannya dan beradu dengan pikiran-pikiran tentang pertemuannya dengan Wendy tadi siang.

"Tadi, waktu Mama di salon, ketemu sama cewe cantik. Anaknya baik, sopan, dan kepribadiannya persis sama Mama."

Minhyun mendengus, pikirannya menerawang lagi. Jika Ibunya sudah seperti ini, mungkin sebentar lagi ia akan disuruh mencari tau siapa gadis yang berbicara Ibunya di salon tadi. Sampai sekarang, Minhyun paling anti jika urusan asmaranya diganggu oleh pihak manapun. Ibunya sekalipun. Karena pikirnya sudah dewasa dan ia hanya perlu sedikit bimbingan.

"Coba kamu kenalan sama dia, Hyun."

Nah kan.

Minhyun mengehentikan acara makannya. Kepalanya sedikit menunduk.

"Dia cantik kok, baik juga. Cocok deh sama kamu."

"Iya, Kak! Kakak itu cocok banget sama cewe yang ngobrol sama Mama tadi." Dukung Wonyoung yang sekarang duduk tepat disampingnya.

Minhyun meletakan sendok dan garpunya di piring, matanya menatap kearah Ibunya dengan tegas.

"Ma? Minhyun sudah besar, dan bisa mencari pasangan sendiri. Lagipula kan Minhyun sudah punya calon juga." Elak Minhyun.

Di ujung kursi ada Ayah Minhyun yang sudah kembali dari luar kota. Sikap tenangnya yang sama dengan Minhyun membuatnya hanya menyimak percakapan antara Ibunya dan anak sulungnya sekarang.

"Calon mah percuma kalau belum pernah diajak ketemu Mama, Ayah, sama Wonyoung."

Nyonya Hwang mengelap mulutnya dengan tissue karena makanannya sendiri sudah habis.

"Tapi Ma..."

"Namanya Weny atau siapa sih tadi, Dek?" Nyonya Hwang menatap Wonyoung.

"Kak Wendy, Ma!" Koreksi Wonyoung.

"Nah iya Wendy! Cantik, baik, sopan juga sama Mama, pokoknya Mama suka lah!"

Minhyun terdiam. Tangannya mengetuk meja makan pelan.

Di salon tadi? Wendy?

To be continued.

Urfavoo.

himTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang