Prolog

8.4K 481 54
                                    

⚠Baca Shadow lebih dulu sebelum baca ini⚠

"Pokoknya kamu jangan ke mana-mana. Di sini aja, masalah perusahaan itu urusan ayah. Kamu jagain aja calon cucu ayah!"

Inaya meringis sendiri melihat reaksi Wijaya. Ayah mertuanya itu terlihat sangat OOC, kontras dengan sikap yang ditunjukkan selama ini. Dua menit yang lalu Wijaya bahkan tertawa sambil merangkul Hani dan bilang. 'Kita punya cucu! Kita punya cucu!'

Inaya bahkan mencubit pelan lengan Zaidan diam-diam. Hanya untuk bertanya apa wajar jika Wijaya bersikap seperti ini? Atau jangan-jangan Wijaya baru saja kesambet setan Danau Dora?

"Apotek Mirah belum ada apoteker penggantinya kan?"

Zaidan menggeleng. "Apoteker di sana pindah tugas ke Asyfa, gantiin Zaidan."

"Kalau gitu kamu ambil lagi aja posisinya," usul Wijaya. "Si Neng nggak boleh perjalanan jauh dulu. Kasian dia."

"Ayah," Inaya mencicit, mirip tikus. "Naya nggak apa-apa kok. Kalau cuma ke Malang, kayaknya Naya bisa."

"Enggak, ayah nggak mau ambil resiko. Pokoknya kamu nggak boleh kecapekan. Oh iya," kini tatapan beralih pada Hani. "Nanti biar Bunda yang bantu kalian cariin asisten rumah tangga ya."

"Asisten rumah tangga?" Mata Inaya membulat. Ia melirik Zaidan kemudian kembali menatap Wijaya. "Buat apa, Ayah?"

"Biar kamu nggak kecapekan, Sayang." Hani tersenyum.

"Ta-tapi, Bunda--"

Mau Zaidan atau Wijaya, Inaya sekarang paham betul. Keduanya tidak bisa dibantah. Perintah mereka adalah mutlak!

***

Inaya benar-benar tak menduga jika reaksi Wijaya akan seperti ini. Senangnya keterlaluan, lebay kalau kata anak zaman sekarang. Tapi jika dipikir-pikir ini bagus juga.

Coba lihat aula Gedung Mustika yang kini mulai dipenuhi oleh anak-anak yatim dari beberapa daerah. Mereka datang dan duduk di kursi yang disediakan. Tepat, Wijaya memang tengah mengadakan acara santunan.

Acara santunan selesai saat adzan dzuhur berkumandang, beberapa ada yang pulang sementara yang lain bertahan untuk sholat dzuhur bersama. Inaya kira itu sudah selesai, nyatanya sehabis dzuhur masih ada kolega Wijaya dan Bima berdatangan. Mau tak mau Inaya juga harus tetap tersenyum sambil meladeni semu orang yang mengajaknya bicara.

Tapi sayangnya, acara itu cukup lama. Inaya yang sejak siang tadi sudah mulai pusing kini semakin menjadi.

"Neng, pucet banget muka kamu," ucap Ayu seraya menangkup wajah Inaya. "Kamu capek?"

Inaya menggeleng. "Naya cuma haus kok, Ma. Naya ambil minum dulu ya."

Inaya tak mau membuat Ayu atau siapa pun khawatir. Mereka terlihat bahagia hari ini. Mana mungkin Inaya tega bilang kalau ia sudah sangat lelah dan ingin segera pulang.

Inaya berjalan menuju meja mengambil segelas air mineral. Inaya meminumnya pelan kemudian menjatuhkan kepala ke meja. Sepertinya pusing ini benar-benar tak bisa diajak kompromi. Rasanya malah semakin sakit. Belum lagi Inaya merasa perutnya bergejolak, mual.

Inaya menutup mulut dan hidung, aroma parfum dan pengharum ruangan beradu jadi satu semakin memperparah keadaan. Sepertinya Inaya butuh udara segar.

Tapi belum sempat berjalan, Inaya sudah sempoyongan duluan. Kakinya lemas hingga ia harus berpegangan pada meja untuk bisa berdiri tegak. Inaya tidak bisa berjalan, akhirnya ia putuskan untuk kembali duduk. Menahan pusing dan mual sambil menenggelamkan wajah di kedua tangannya.

"Inaya?" Zaidan yang melihat gelagat aneh dari istrinya sontak saja berjalan mendekat. "Kamu kenapa?"

"Acaranya masih lama ya, Mas?"

"Kamu capek?"

Inaya mengangguk. "Di sini bau parfumnya nyengat banget. Naya mual, Mas."

Sentuhan lembut di kepala Inaya diterima dengan senang hati. "Istirahat dulu ya?"

Inaya kembali mengangguk.

Zaidan baru sadar jika Inaya benar-benar lelah ketika melihat Inaya berdiri. Ia segera memegangi Inaya agar tidak jatuh.

***

Napas Inaya terasa berat ketika ia membaringkan diri di kasur. Matanya terpejam merasakan denyutan di kepala semakin kuat.

Zaidan membuka jendela lebar-lebar, membiarkan udara segar masuk. Ia mengambil segelas air lalu duduk di pinggir kasur. "Minum dulu."

Mata Inaya terbuka perlahan. Ia duduk sambil bersandar dan meraih gelas yang Zaidan berikan.

"Kalau kamu capek kenapa nggak bilang?

"Habisnya Mama sama Bunda kelihatan seneng banget. Naya nggak mau bikin mereka khawatir."

Kepala diusap pelan. "Tapi kamu nggak harus memaksakan diri juga, Inaya."

"Mas juga keliatan capek." Mata Inaya melirik ke kasur yang ia tempati. "Mas juga istirahat aja. Tapi jangan tidur di sini, kasurnya kecil nggak cukup buat berdua."

"Terus kalau nggak di kasur, saya tidur di mana?"

"Di lantai kan bisa."

Zaidan tertawa pelan. "Masa suami sendiri disuruh tidur di lantai."

"Nggak apa-apa. Laki-laki itu harus tangguh, Mas." Inaya ikut tertawa namun ia menggeser posisi ke pojok. "Sini tidur, Mas. Naya bercanda."

"Saya nggak ngantuk. Kamu aja yang tidur."

"Tapi Naya maunya Mas juga tidur."

Zaidan mengalah ia membuka berdiri kemudian ikut berbaring di samping Inaya. Tangannya melingkar, mendekap lembut sambil menjadikan lengan atasnya sebagai bantal bagi Inaya.

"Mas, kalau nanti Naya jadi gendut gimana?" tanya Inaya tiba-tiba.

"Emangnya kenapa kalau kamu gendut?"

Jari dimainkan di atas pemukaan dada Zaidan, Inaya menonggak. "Emangnya Mas masih sayang sama Naya kalau Naya nanti gendut?"

"Memangnya saya pernah bilang kamu harus jadi langsing?"

Inaya terdiam kemudian menggeleng. "Enggak sih."

"Terus atas dasar apa kamu nanya gitu?"

"Naya cuma takut aja kalau Naya gendut nanti Mas jadi geli sama Naya."

Zaidan terus menanggapi ucapan Inaya. Sampai lama-lama Inaya mengantuk dan akhirnya tidur. Rambut hitam legam itu diusap pelan sambil sesekali dikecup lembut.

Zaidan tidak menyangka akan bisa bertemu dengan hari ini. Ia memiliki istri yang ia cintai dan sebentar lagi akan ada bayi mungil di tengah-tengah mereka. Sungguh Allah sangatlah baik padanya, Allah tak memandang seseorang dari masa lalunya.

Siapa sangka orang yang memiliki masa lalu kelam seperti Zaidan bisa berada di posisi ini.

Getar ponsel di atas nakas membuat Zaidan menoleh. Pelan ia mengambil ponsel Inaya yang bergetar.

Ada tiga buah pesan masuk dari pengirim yang sama.

Naufal.

Ibu jari Zaidan bergerak untuk membuka pesan itu. Usapan di kepala Inaya belum berhenti ketika Zaidan membaca kata demi kata di ponsel milik Inaya.

Zaidan tersenyum tipis, dikecupnya sekali lagi puncak kepala Inaya. Ia kemudian menghapus dua pesan dari Naufal, menyisakan satu pesan yang ia biarkan hanya dibaca.

Ponsel kembali disimpan di atas meja. Menampilkan sebuah pesan dari Naufal.

Hay, Nay. Apa kabar? Aku denger kamu lagi hamil. Semoga kamu dan bayinya selalu sehat sampai hari lahirnya nanti. Sampaikan salam saya juga buat Zaidan. Semoga kalian selalu bahagia.




Emm mungkin ini prolog kali ya 😅
Okey, jangan lupa tinggalkan jejak.

Double up jangan nih? 😏


A DreamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang