Tesa

87 16 21
                                    

Pak Adnan membuka pintu ruangan gelap dengan rak buku di setiap sudut dindingnya. Seseorang berjubah hitam itu duduk sambil membaca buku.

"Simpan saja di situ. Tinggal lima ratus halaman lagi, tunggu sepuluh menit." Ucap seseorang dengan jubah hitam.

"Ah, lagi-lagi kau melakukan hal yang ekstrem. Jangan terlalu asyik belajar. Kau sudah jadi profesor muda, bukan?" Jawab Pak Adnan sambil meraih kursi di hadapan orang itu.

"Aku sedang menghafal isi Fathul Baari. Jadi tunggu saja sebentar."

"Baiklah." Jawab Pak Adnan sambil membaca buku antologi puisi karyanya sendiri.

🌀

Triiing!

Jam istirahat sudah habis. Semua kegiatan belajar mengajar mulai dilaksanakan kembali. Guru dan siswa bergegas masuk kelas. Sepuluh menit setelah bel berbunyi adalah batas siswa boleh masuk. Tidak pernah ada guru yang telat masuk di sekolah ini. Kedisiplinan menjadi prioritas.

Kecuali untuk Ghina dan Aldo hari ini. Setelah bel berbunyi pun mereka tak kunjung masuk kelas. Mereka tetap diam di tempat persembunyiannya. Ruangan kosong kecil dan kotor di ujung lapangan sepak bola. Aldo masih asyik dengan laptopnya. Ghina sebenarnya hanya menonton setiap ketikan jari Aldo saja. Menyaksikan setiap tahap pembajakan sistem CCTV sekolah.

"Kukira tidak sesulit ini, Ghi." Ucap Aldo sambil mengelus dahinya.

"Aku sudah tahu dari awal. Sekolah ini tidak seperti sekolah biasa yang menambah CCTV tanpa tahu cara mengotak-atiknya." Sahut Ghina sambil meminum jus alpukatnya.

"Ini semakin membuatku yakin kalau Afa itu masih ada di sini. Aku penasaran, seberapa cerdas dia." Ujar Aldi yang masih fokus ke layar laptopnya.

"Yang pasti dia lebih cerdas darimu, iya kan?" Ghina terbahak-bahak menertawakannya. Aldo mendengus kesal.

Aldo melanjutkan pembajakan sistem CCTV sekolah. Ghina tiduran di bangku dekat dinding ruangan kecil ini. Sunyi, tak ada suara apapun selain suara laptop Aldo yang terkadang berbunyi hiiing karena kapasitas RAM nya yang tidak memadai.

Tap... Tap...

Terdengar suara langkah kaki yang mendekat, mengarah ke ruangan kecil tempat mereka bersembunyi. Aldo dan Ghina saling tatap, bingung harus bagaimana. Di ruangan ini tidak ada tempat lain yang bisa dipakai bersembunyi.

Segera Aldo memasukkan laptop dan benda lainnya ke dalam tas. Suara langkah kaki itu semakin jelas. Langkahnya semakin cepat dari sebelumnya, seperti yang tahu kalau ada manusia di dalam. Ghina menunggu di balik pintu, hendak menahannya kalau seseorang yang di luar sana memaksa masuk.

"Do, kalau orang yang di luar sana manggil, kamu yang jawab ya." Bisik Ghina sambil tetap menahan pintu. Aldo mengangguk mengerti.

Suara langkah kaki itu hilang tiba-tiba. Sepertinya dia sudah berada tepat di depan pintu.

"Ghi! Memangnya apa yang harus kita takutkan? Belum tentu kan dia tahu apa yang kita lakukan dengan laptopku ini?" Tanya Aldo berbisik.

"Justru karena dia tidak tahu apa yang kita lakukan. Aku takut dia berprasangka yang tidak-tidak!"

"Benar! Aku baru sadar."

Ghina menepuk dahinya.

Tok! Tok! Tok!

"Keluar! Aku tahu kalian di dalam. Ghina! Aldo!" Teriak orang itu dengan nada menyentak.

Kembali Aldo dan Ghina saling tatap. Suaranya tidak asing bagi mereka. Perempuan, kasar dan sombong.

"Ini..."

"Tesa!?" Sahut Aldo.

Perlahan Ghina memberanikan diri membuka pintu ruangannya. Aldo bersiap di belakang memegang sebatang kayu bekas sapu. Wajahnya berkeringat.

Brak!

Dia mendobrak pintu dengan kakinya. Ghina terpental ke belakang. Dengan sigap Aldo menahannya. "Apa yang kalian lakukan di sini!?"

"Tesa! Kau tidak bisa membuka pintu dengan sopan, hah!?" Ghina kembali berdiri, lantas menghampirinya.

"Tidak! Puas!?" Sahut Tesa seraya menarik kerah baju Ghina.

"Hei! Sudahlah kalian! Sebenarnya ada perlu apa kau ke sini, Tesa?" Aldo berusaha melerai.

"Cih! Kalian jangan pura-pura tidak tahu. Aku tahu semua yang kalian lakukan di ruangan ini." Tesa melepaskan Ghina.

"Aku lupa kalau kau juga masuk klub komputer." Raut wajah Aldo berubah mendengar ucapan Tesa.

"Ada apa ini?" Tanya Ghina yang heran tidak mengerti.

"Tesa ini... Dia juga anggota klub komputer, sama sepertiku. Dia juga pasti sudah tahu kalau laptopku berusaha membajak sistem CCTV sekolah."

Ruangan senyap seketika. Tesa tersenyum sinis.

"Sebenarnya aku bisa saja mengadukan ini ke pihak sekolah. Tapi..."

"Jangan!" Tukas Ghina.

Tesa tertawa lepas. Suaranya keras sekali.

"Tesa, tolong jangan seperti itu." Aldo ikut membela.

"Harusnya kalian dengarkan dulu 'tapi' yang mau kukatakan." Tesa tertawa lagi, kali ini wajahnya terlihat lebih ramah. "Tapi aku tidak tertarik untuk mengadukannya. Aku lebih tertarik untuk ikut dengan kalian. Aku juga penasaran dengan sosok Afa dan siapa Pak Adnan sebenarnya."

Ghina tersenyum lega. Lantas memeluk Tesa. Aldo membuang kayu yang tanpa sadar masih diapegang, lalu mengempaskan badannya di bangku tempat Ghina tiduran tadi.

🌀

"Sepertinya kekuatan otakku tidak seperti dulu lagi, Adnan." Ucap pria berjubah hitam itu sambil meletakkan kitab Fathul Baari jilid satu yang diabaca di meja.

"Berapa yang kauhafal dalam sejam ini?" Tanya Pak Adnan.

"Hanya satu jilid ini."

Pak Adnan menggeleng-gelengkan kepalanya. Satu jilid kitab Fathul Baari saja tebalnya 692 halaman.

🌀🌀🌀

Permainan Logika Afa (Perpustakaan Aurum 2)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang