3. Sahabat dan Cinta

173K 12.6K 97
                                    

Pradipta

"Mitha." Aku memanggil adikku yang sedang menghubungi office boy untuk membereskan ruang kerjanya.

Ia menoleh dengan wajah penuh tanya. "Apa, Bang?"

"Itu tadi Diandra teman SMA kamu dulu? Jadi staf bagian apa? Purchasing?" tanyaku sambil membantu Arinda menyiapkan obat yang harus ia minum setelah makan.

"Corporate communication staff. Dia koordinatornya."

Aku baru tahu. "Sejak kapan?"

"Empat tahun lalu. Lah Abang nggak tahu?" Mitha memasang wajah kaget seakan-akan takjub dengan ketidaktahuanku.

"Nggak. Ngapain juga harus tahu. Lagian nggak pernah ketemu juga selama Abang di sini. Kok aneh, ya?"

"Ya nggak aneh kalau ada apa-apa Abang nyuruh sekretaris Abang yang turun ke lantai tiga buat kasih tugas. Mana bisa Abang tahu siapa aja yang kerja di sana. Dasar sombong!" Mitha dan ucapan ketusnya memang satu paket. Entah keturunan siapa perempuan itu.

"Bukan sombong, Mitha! Abang cuma efisiensi waktu urus dua bisnis bersamaan. Kamu pikir urus restoran itu nggak butuh waktu juga?" sanggahku seraya menyodorkan air mineral untuk Arinda.

Selama memegang langsung bisnis Golden Hospital, aku memang jarang berada di sini. Aku hanya menerima e-mail laporan dan memastikan semuanya berjalan lancar. Namun, sejak Arinda harus terus berada di rumah sakit untuk pengobatan, aku lebih sering bekerja dari ruang kerjaku di rumah sakit ini, bukan lagi di kantor pusat restoran yang kukelola.

"Diandra bahkan suka nggak pulang ke rumah dan bermalam di sini kalau ibunya sedang rawat inap seperti sekarang," kata Mitha lagi. Ia masih sibuk membereskan kotak bekal. "Aku salut sih sama dia karena berjuang terus demi ibunya. Pas aku bicara ke Papa dan mengajukan bantuan buat dia, Papa setuju."

"Siapa dokter yang handle ibunya Diandra?" tanya Arinda.

"Dokter Ferdi, karena dia yang mau dibayar separuh untuk jasanya. Papa bikin surat sakti buat Diandra yang isinya memberikan free of charge fasilitas apa pun di rumah sakit ini untuk ibunya. Mereka hanya perlu bayar obat dan jasa Dokter Ferdi."

"Papa baik juga," kata Arinda.

"Gimana nggak baik, orang Diandra itu berjasa banget buat Mitha. Nggak ada Diandra ya Mitha nggak bisa lulus SMA. Otaknya kan di bawah pas-pasan," celetukku sambil terkekeh jail. Aku akhirnya ingat tentang perempuan itu, teman SMA Mitha yang dulu sering berada di rumahku.

"Kurang ajar lo, Bang!" ucap Mitha sengit.

"Diandra itu ...." Arinda tampak berpikir. Aku meliriknya sesaat. "Teman kamu yang dulu suka main ke rumah, kan?" tanyanya. Mitha mengangguk. "Dia sudah menikah?"

Mitha menggeleng pelan. "Belum. Dian nggak sempat pacaran. Setiap waktu di hidup dia, cuma buat kerja dan rawat ibunya. Bagi dia, cinta-cintaan itu nomor seratus satu dari seratus daftar prioritasnya."

Tak ada jawaban lagi dari Arinda. Ia terdiam dengan tatapan yang tak kupahami. Aku mengguncang pundaknya. "Kamu harus kontrol dua jam lagi, kan? Ayo kembali ke ruang kerjaku dan istirahat dulu di sana."

Arinda menghela napas panjang lalu mengangguk malas. Aku tahu, kegiatan ini pasti menjenuhkan. Namun, bagaimana lagi? Kami berada dalam kondisi untuk terus saling mengingatkan demi kesehatannya.

***

"Dipta." Arinda memanggilku lembut.

Aku membuka mata perlahan, melirik jam dinding. Pukul dua dini hari, dan Arinda membangunkanku dari tidur.

Jar of Hearts ( Versi Terbit Diandra's Marriage )Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang