6 Negosiasi

163K 12.7K 254
                                    

Diandra

Dokter Arinda mungkin salah minum obat. Bagaimana bisa ia terang-terangan memintaku menjadi istri kedua dalam rumah tangganya?

Awalnya kami berbincang ringan mengenai kehidupanku dulu bersama Mitha. Berlanjut saat aku berkuliah sambil bekerja sebagai wedding singer dan bersahabat dengan Nesya. Tiba giliran Dokter Arinda, ia menceritakan kehidupan pernikahannya dengan Pradipta. Jujur, saat Dokter Arinda berkata bagaimana romantis dan lembutnya Pradipta, satu sisi hatiku tidak terima. Namun, aku tak menyimpulkan hal tersebut sebagai kecemburuan. Aku hanya merasa Pradipta itu berengsek.

, tak masalah jika itu dari rahim wanita lain. Aku terkesima dengan keterbukaan hati dan pikirannya. Sungguh, tak semua wanita mau berbagi ranjang dengan wanita lain. Namun, rasa kagum dan terkesima itu langsung luruh saat Dokter Arinda justru melamarku menjadi madunya.

Ini benar-benar gila. Ego dan harga diriku terluka. Aku menolak keras permintaan tersebut. Sebagai perempuan, aku memang ingin dilamar, tetapi bukan menjadi istri kedua. Apalagi istri Pradipta. Tidak, aku tidak akan menyerahkan diri dan hidupku kepadanya.

Sambil melirik Ibu yang terlelap, aku bersyukur. Paling tidak, Ibu tak mendengar percakapan gila tadi.

Aku mengambil diari secara kasar dan memutuskan meninggalkan kamar ini dengan alasan ingin membeli kopi. Aku butuh sesuatu yang membuat pikiranku tetap stabil. Aku tidak boleh marah dengan lamaran Dokter Arinda. Toh aku bisa menolaknya.

***

Kini sudah beberapa hari saat Dokter Arinda melamarku. Semangat kerjaku tetap tinggi, tetapi suasana hatiku tak baik-baik saja. Sejak malam itu, aku berusaha menghindari Dokter Arinda. Ketika mata wanita cantik itu mengarah kepadaku, aku lekas membuang pandangan, menutup tirai penyekat dan berpura-pura sibuk dengan pekerjaan. Setiap melihatnya, emosiku jadi mencuat. Namun, aku tak berani bersikap buruk atau kasar kepada Dokter Arinda, mengingat posisi wanita itu dan kondisi tubuhnya.

Tiba-tiba aku mendapat kabar bahwa Zaidan, anak pertama Nesya, mengalami kecelakaan dan dibawa ke IGD Golden Hospital. Sontak aku berlari untuk memastikan kabar keponakanku itu.

Benar saja, IGD sudah ramai dengan jerit tangis Nesya. Beberapa perawat mendekat untuk menenangkan sahabatku.

Aku menghampiri Nesya dan langsung memeluknya.

"Anak gue, Di, anak gue!" Tak pernah aku melihat Nesya sehisteris ini. Yang kutahu, ia tipe wanita tangguh.

"Zaidan kenapa, Sya?" bisikku lembut.

"Anak gue jatuh dari tangga. Jalan sambil main HP, nggak lihat-lihat, lalu kepeleset." Isak tangis mewarnai penjelasan Nesya.

Aku mengeratkan pelukan, mengantarkan semangat dan ketenangan, seolah-olah ikut mengatakan bahwa semuanya akan baik-baik saja. Ya, aku yakin semua akan kembali seperti sediakala. Pelukan ini juga kuharap mampu membuatku lebih tenang setelah berhari-hari memendam emosi.

Tak lama, Nesya mengangkat telepon dari suaminya, Jaksa Yusuf. Pria itu ternyata baru sampai di pelataran parkir rumah sakit. Nesya yang masih panik berniat menghampiri Jaksa Yusuf. Aku mencegah, meminta Nesya menunggu. Namun, ia menggeleng dengan tangis yang kembali pecah.

"Gue butuh laki gue, Di. Gue butuh peluk dia sekarang," ucapnya seraya melangkah lebar menuju mobil Jaksa Yusuf.

Dari luar IGD, aku melihat banyak wartawan berkerumun menunggu informasi dari Nesya. Aku merangkul bahu Nesya dan mengikutinya. Akan tetapi, wartawan yang mendekat membuat langkah kami tersendat.

"Mbak Nesya, kejadiannya bagaimana?"

"Mbak Nesya, apa kira-kira penyebab kecelakaan Zaidan?"

"Apakah ada kemungkinan faktor kesengajaan?"

"Mbak Nesya, suaminya di mana?"

Aku kesal melihat para awak media yang tak menghargai privasi. Aku menarik Nesya lalu mendorongnya menghampiri Jaksa Yusuf yang baru keluar dari mobil. Mereka berpelukan dengan Nesya yang menangis. Jaksa Yusuf mencoba menangkan Nesya dan membawanya menjauh dari kerumunan wartawan.

"Maaf, Mas dan Mbak sekalian, mohon membubarkan diri dari sini, ya. Sahabat saya masih syok atas kecelakaan yang menimpa anaknya," kataku agar Nesya lebih leluasa dan nyaman tanpa kamera yang selalu membidiknya.

"Mbak siapa? Hidup Nesya itu milik publik. Tugas kami melaporkan kepada publik apa yang terjadi."

"Tapi bukan dengan cara seperti ini!" Aku mulai kesal. Mereka tidak tahu apa jika kondisi Nesya sedang tidak baik-baik saja? Mana ada orang tua yang bisa tetap tenang saat anaknya dalam proses pengobatan?

Melihat peringai beberapa awak media membuat emosi makin menggulung pikiranku. Banyaknya pekerjaan dan jam tidur yang kurang selama menjaga Ibu, membuatku pening. Belum lagi masalah Dokter Arinda yang membuat pikiran dan hatiku makin keruh.

"Persetan, Mbak! Nggak usah sok ngatur! Kami pantang pulang sebelum bawa berita!"

Emosiku mencuat ke ubun-ubun. Tak sanggup lagi aku menekan amarah dan bersikap tetap sabar. Bagaimana bisa mereka tak sedikit pun menghargai privasi orang? Jika itu berita tentang karier Nesya, terserah mereka saja! Namun, ini tentang keluarganya dan aku tak terima dengan perlakuan mereka terhadap privasi Nesya. Sahabatku sedang panik dan perlu menenangkan diri.

bersikeras mengusir mereka, tetapi para wartawan itu juga bersikeras untuk tetap memantau perkembangan Zaidan.

Di tengah perdebatan, aku mendapati beberapa kamera mengarah kepadaku. Aku tahu mereka mendokumentasikan keributan ini. Bagiku, semua ini di luar toleransi. Hingga saat di ambang batas kesabaran, aku merebut salah satu kamera lalu membantingnya.

Aku terkejut. Yang terjadi barusan seperti gerakan refleks. Aku menatap Nesya dari jauh, ternyata ia masih berada di sekitar sini. Aku segera menggumamkan maaf tanpa suara, lalu melangkah cepat menuju ruang kerjaku untuk menghindari para wartawan.

Namun, sebelum itu, aku melihat Pradipta datang dengan beberapa sekuriti Golden Hospital. Ia mengarahkan para juru berita itu ke suatu tempat, yang kuprediksi untuk menunggu kabar terbaru tentang Zaidan.


******

Jar of Hearts ( Versi Terbit Diandra's Marriage )Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang