01: man upon the hill.

1.3K 217 36
                                    

Dulu, Dunia Fajar sesempit rumah, klinik Bunda, dan punggung Jingga

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Dulu, Dunia Fajar sesempit rumah, klinik Bunda, dan punggung Jingga.

Setiap kali mereka akan bermain, tangan Fajar selalu ditarik oleh Jingga untuk turut serta. Dan anak lelaki itu hanya mengikuti sang kakak kembar dari belakang, hanya memperkenalkan diri pada anak-anak lain malu-malu seraya menggigit bibir. Jingga? Tentu saja menepuk-nepuk bahu Fajar penuh kebanggaan. Bangga karena telah menambah teman baru juga untuk adik kembarnya.

Dan kebanggan itu lenyap tiap kali Fajar dijadikan bulan-bulanan. Lagi dan lagi. Kakak kembarnya akan marah dan menarik Fajar bersembunyi di balik punggungnya (sambil berkata, "Jar, jangan terlalu baik dengan orang-orang!"). Punggung Jingga adalah tempat teraman di dunia yang Fajar kecil tahu. Punggung kecil yang bahkan tidak getar akan badai yang mengamuk di hadapan.

Dunia Fajar barulah meluas beberapa petak saat seorang anak lelaki mengulurkan tangannya. Halaman sekolah saat itu sepi. Sementara Jingga membeli minuman di warung terdekat, Fajar duduk di dekat Pos Satpam menunggu Papa datang menjemput. Di saat itulah, anak itu datang. Tersenyum hingga matanya menyipit. Seragam merah putihnya masih rapi, kontradiksi dengan rambutnya yang agak berantakan. Raut wajahnya ramah dan entah mengapa, Fajar mendapatkan firasat jika anak lelaki itu adalah orang yang menyenangkan.

"Namamu Fajar, ya? Aku Dira!"

Fajar mengerjap. Kenal? Tidak juga, tetapi Fajar kecil tahu nama itu dari kasak-kusuk di koridor sekolah. Tunggu, bagaimana anak ini mengenalnya? Apakah karena anak-anak itu membicarakan hal buruk tentangnya lagi?

"Dira-Diraditya?"

Anak lelaki itu mengerjap kebingungan, "Eh, kenal aku?"

"... cuma tahu dari cerita temen-temen." Tentu saja. Dira itu terkenal-dia ramah, berteman dengan siapa saja, dan tampan. Malu-malu, ia menyambut uluran tangan Dira. Digenggamnya tangan itu erat saat bibirnya menyunggingkan senyum kecil. "Salam kenal ya, um, Dira."

"Iya, teman baru!" Seakan membaca kebingungan yang ada di mata Fajar, Dira menepuk-nepuk bahunya bersahabat, "Kan mulai sekarang, Fajar itu temanku."

"Teman? Beneran?"

Fajar mengerjap ragu. Senyum Dira tak luntur tatkala ia mengangguk.

"Iya! Fajar temannya Dira!"

Sore itu, Dira diperkenalkan kepada Papa dan Bunda sebagai teman Fajar. Teman pertama Fajar. Ibunya langsung membelikan mereka berdua donat dari toko depan klinik. Ayahnya langsung menggendong Dira seraya tersenyum lebar, menimang-nimang Dira seakan anak lelaki itu anak keempat mereka. Dan Jingga? Jingga tentu saja langsung menyambut Dira dengan tangan terbuka-sebagai anak lelaki yang pertama kalinya mengulurkan tangan pertemanan pada adik kembarnya yang pemalu. Mungkin itu karena Dira memang ramah pada semua orang, tetapi pikiran Fajar kecil tidaklah sepanjang itu.

Selama ini Dira baik. Selama ini Dira tidak menertawakannya seperti anak-anak lain. Selama ini Dira selalu mengajaknya bermain. Itu sudah cukup untuk membuat Fajar kecil senang.

[2/3] day by day.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang