Akhir Pekan - Part 5

287 8 0
                                    

Akhir pekan ini aku menepati janjiku untuk mengajak Steve ke daerah tempat lombaku di dataran tinggi. Tepatnya di bukit yang dingin dan romantis. Aku menyetir dalam mobil Jaguarnya, sementara pria itu terduduk tak berdaya di sampingku.

Saat kami sampai, aku segera turun dari mobilku dan membuka bagasi, kemudian mengeluarkan kursi rodanya yang dilipat. Aku membuka kursi roda itu dan menempatkannya di hadapan Steve. Aku menuntun pria itu dengan sangat hati-hati sampai terduduk di kursi roda. Ini jelas hal baru yang tidak pernah terbayang sebelumnya.

"Kau seharusnya tidak melakukan ini," Steve berbisik padaku.

"Apa aku terlihat terluka melakukannya? Aku baik-baik saja, Steve." Aku berusaha tersenyum padanya.

Aku mendorong kursi rodanya menelusuri jalanan sepi tanpa orang. Aku melihat hotel tempatku dulu berlomba bersama Joseph. Aku menarik napasku dalam-dalam. Ingatanku tentang kami di sini masih sangat tajam.

Kami menemui sebuah lampu taman yang sangat aku ingat. Aku ingat bertanya pada Joseph apa itu arti berpelukan padanya. Aku memeluknya di sini. Astaga, batinku menjerit. Steve mendongak dan mendapati wajahku menahan senyuman.

"Darimana kau tahu ada tempat ini, Anaz?" Steve menyipitkan matanya.

"Orang tuaku pernah mengajakku kemari. Kau suka?" tanyaku dan lamunanku hancur seketika.

"Aku suka karena tempat ini sepi. Tidak ada yang melihat keadaanku." Ada goresan kesedihan di wajahnya.

Aku menggeleng, "Aku kemari karena udaranya yang begitu menyenangkan." Dan mengenang peristiwa dengan Joseph kala itu. Aku melanjutkannya dalam hatiku.

Kami sampai di ujung bukit. Pemandangannya adalah langit bertaburan bintang di atas kepala dan gemerlap lampu kota di bawah kami. Udara sejuk sekali. Aku terduduk di kursi kecil untuk menyamai tinggi Steve yang terduduk di kursi roda.

Di tempat ini, tepat di mana aku sedang terduduk sekarang, aku dan Joseph membuat janji dengan saling mengaitkan jari kelingking. Isi janjinya, "Anastacia dan Joseph berjanji akan mengingat peristiwa bodoh selama SMA sampai seratus tahun." Mengingatnya saja membuatku ingin menangis. Semuanya terlalu berbekas. Sekarang aku tahu ide mengajaknya kemari bukan ide yang cemerlang.

"Aku merindukan diriku yang dulu," Steve tiba-tiba mengatakannya.

"Kamu tidak berubah bagiku," jawabku dengan spontan.

"Steve Liem yang bisa mengantar jemputmu setiap hari. Aku merasa begitu lemah saat ini. Aku tidak bisa berbuat apa-apa," Steve menghela napas yang panjang.

"Itu sama sekali tidak membuat dirimu berbeda. Steve yang dulu aku temui berbeda. Ia sangat dingin. Tetapi, kamu berubah menjadi sosok yang menyenangkan," ujarku berusaha menenangkannya. Jika kau tanya apakah aku serius atau tidak, aku pun tidak yakin akan jawabannya.

Kami hening untuk sejenak menikmati indahnya malam ini. Untuk sejenak menenangkan pikiran kami. Suasana begitu sunyi, lebih sunyi dari waktu itu. Berada di sini bersama Joseph dan Steve jelas berbeda. Aku tidak tahu harus mengatakan apa pada Steve. Kami terlalu canggung untuk berbicara dengan romantis.

Sejenak, otakku berpikir, "Hans Joseph, apakah sedetik dalam hidupmu, kamu pernah merindukanku dan memikirkan janji bodoh yang kita buat bersama?"

Aku menyandarkan kepalaku pada bahu Steve. Aku memejamkan mataku dan membiarkan angin malam menusuk kulitku. Pakaianku tidak terlalu tertutup untuk ini. Steve tidak mampu membantahnya. Ia sedikit melirik ke arahku.

Aku tidak bergerak sama sekali. Dan aku bertaruh Steve mengiraku sudah tertidur dalam tumpuannya. Tidak. Aku sedang memikirkan Joseph entah di mana. Jika ia dan aku bisa kembali lagi kesini suatu saat, aku akan jadi wanita paling berbahagia di dunia.

WEARY FATE 2nd Book of Painful Lies (COMPLETE)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang