Dua Mil - Part 15

302 15 9
                                    

Kuliahku mulai berlangsung. Semuanya berjalan begitu-begitu saja. Tanpa ada yang terlalu menghiburku. Suatu siang di bulan Desember, saat aku sampai ke rumah, aku mendapati sebuah paket di ruang tengah. Paket itu dikirim oleh Bryan. Saat aku membukanya, aku begitu terkejut saat mendapati tiga buah tiket pesawat kelas pertama tujuan London. Aku segera bertingkah kegirangan. Memang aku benar-benar menanti masa ini. Saat dia sungguh menepati janjinya.

Begitu pula dengan kedua orang tuaku saat mereka pulang. Mereka begitu bahagia melihatnya.

"Pria ini sungguhan," gumam Ayahku dengan memerhatikan tiket tersebut.

Hanya dengan tiket itu, harapanku untuk bertemu Joseph kembali muncul. Aku akan menyempatkan diri mencarinya di universitas itu dan menanyakan semuanya padanya.

Aku bisa melihat kegembiraan kedua orang tuaku. Untuk pertama kalinya, mereka bangga pada sikap baikku selama ini.

Saat aku masuk ke dalam kamarku dan mengenakan kalung bintang itu, Hazel secara tiba-tiba mengetuk pintu dan segera tersenyum ke arahku.

"Kau sedang mempersiapkan sesuatu? Pakaian-pakaian terbaikmu, mungkin?" Hazel dengan ramah segera menghampiriku.

Aku menggeleng dengan senyuman lesu, "Pria itu sudah memberiku terlalu banyak." Aku menunjuk setumpuk kotak yang berisi sepatu, tas, dan pakaian. Awalnya aku begitu tersanjung. Tetapi lama kelamaan aku mulai muak mendapatkannya. Sehingga aku hanya menyimpannya dan membiarkan kotak itu berdebu.

Hazel menghampirinya dan berdecak kagum, "Aku bersumpah, hadiah ini jika dijumlahkan akan lebih mahal dari sebuah rumah."

"Hazel," aku memanggil namanya dengan keseriusan. "Aku sudah memiliki lebih dari cukup barang-barang itu. Bukan itu yang kucari," aku mengatakannya dengan lesu.

Kemudian, Hazel memandangi leherku dan mendapati kalung itu menggantung dan ia segera mengangguk mengerti.

Ia segera duduk dengan nyaman di salah satu kursi kamarku. Kemudian tersenyum iba padaku yang kesepian ini.

"Tidakkah kamu lelah mencarinya?" Hazel mulai bertanya padaku.

"Dia menggunakan tanggal ulang tahunku untuk mengunci apartemennya dan memasang foto wajahku di kamarnya. Menurutmu, itu hanya kebetulan?" dengan susah payah, aku menahan air mataku. Mataku memerah dan terasa begitu berat.

"Dia pasti melakukan sesuatu yang baik di kehidupan sebelumnya sampai wanita sepertimu bisa begitu mencintainya," Hazel bergumam disertai sedikit tawa.

"Dia adalah pria yang mabuk tanpa wanita. Pergi ke bar seorang diri. Dia pria yang pandai berkelahi. Ia adalah seorang MVP," aku mengingat semua rupanya. Air mataku menetes tanpa bisa kutahan. "Aku bahkan belum sempat bertanya bagaimana keadaan tangannya saat ia pergi. Apakah ia baik-baik saja atau tidak," aku tidak sanggup lagi menahan isak tangisku.

Dan Hazel hanya mampu menatapku dengan cemas. Kuyakin ia pun kehabisan kata-kata. Aku hanya merasa marah dan kecewa pada diriku dan dirinya, dicampur rasa khawatir yang tidak tertahankan.

Aku mengangguk tanpa alasan jelas, "Ya. Bryan hanya batu loncatan. Jika itu mengusik pikiranmu."

"Pria semacam apa yang bisa membuatmu seperti ini. Aku begitu penasaran," responnya dengan serius.

"Ketika ia menolakku saat kencan pertama kita, aku menatap dari jendela kamarku. Pria itu tidak beranjak dari depan rumahku untuk beberapa menit yang lama," aku menerawang lurus ke lantai. Seolah aku sedang berusaha mengingat semuanya lagi tanpa merasa terlalu terpukul. "Ia pasti merasa menyesal saat itu. Seharusnya itu yang kupikirkan. Bukannya mengumpat dalam hati."

WEARY FATE 2nd Book of Painful Lies (COMPLETE)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang