"Oh! Foto Oppa!" Nana mengambil bingkai foto yang tergeletak di atas meja belajar Hani. Foto Lee Haneul dalam seragam olah raga bersama dengan Hani, keduanya tersenyum lebar dan memegang sebuah piala. Sepertinya mereka baru saja memenangkan sebuah perlombaan di suatu festival olah raga atau semacamnya.
"Hei!" Hani mengambil foto itu dari tangan Nana. "Aku mengizinkan kau menginap, bukan menyentuh barang-barang milikku."
"Iya. Iya." Nana mengangguk-angguk. "Aah, Hani. Kau menyukai Oppa, ya?" Nana menatap dengan ekspresi menggoda.
Hani menatap kesal. "Bukan urusanmu!"
"Kalau suka, kenapa nggak bilang saja?"
"Kim Nana, aku bilang itu bukan urusanmu!"
"Hani, makanlah dulu. Bawa temanmu makan bersama." Suara neneknya Hani terdengar dari arah dapur.
"Ya, Halmeoni!" Nana menjawab, kemudian melangkah keluar kamar dengan gembira. "Aku belum makan malam. Jadi, sangat lapar."
"Astaga, dia pikir ini rumahnya?" Hani meletakkan foto di tangannya kembali ke tempat semula. Ia meletakkan ranselnya di lantai dan keluar dari kamarnya yang kecil.
***
"Dia tinggal di rumah atap hanya berdua bersama neneknya. Kamar di rumahnya sangat sempit. Tapi, suasana rumahnya sangat hangat. Dan yang lebih penting, masakan Halmeoni sangat enak."
Nana mengempaskan tubuhnya di tempat tidur empuk. Duduk dengan santai seraya melipat lengan piyama yang terlalu panjang.
"Dia tinggal di sana sejak usaha keluarganya bangkrut dan ayahnya bunuh diri." Ri-hwan menimpali cerita Nana.
"Benarkah?" Nana menoleh dengan ekspresi tak percaya. "Ahh, aku kira hal seperti itu hanya ada di dalam drama."
"Yah, itulah yang terjadi. Itu adalah dramanya Hani. Drama itu membuat Hani tidak pernah terlihat tertawa lagi. Karena dia masih meyimpan kesedihan itu di dalam hatinya."
"Aku jadi sedikit kagum pada Hani, sejak tahu dia ternyata murid beasiswa. Tapi, saat tahu hidupnya ternyata rumit begitu, aku jadi bertambah kagum." Nana bersungguh-sungguh. "Dia belajar giat dan mencari uang dengan giat juga. Sepulang sekolah dia masih harus kerja part time. Katanya, suatu saat nanti dia akan menjadi seorang Reporter terandal di Korea. Wah, aku saja tidak sedikit pun memikirkan masalah sekolah atau cita-cita, atau hal sepele seperti memilih kewarganegaraan ..."[1]
"Hani memang gadis yang mudah dikagumi."
"Aku juga, kok." Nana percaya diri.
"Jangan membohongi diri sendiri." Dengan malas Ri-hwan menatap Nana yang duduk di tempat tidurnya dan mengenakan piyama miliknya. "Hei, kenapa kau nggak pulang ke rumahmu?"
Raut wajah Nana yang cerah langsung menghilang. "Aku sedang nggak mau pulang."
"Kenapa?"
Nana mendesah. "Mama datang. Saat itu Papa sedang memarahiku karena surat panggilan dari sekolah itu." Nana merebahkan tubuhnya, berbaring menatap langit-langit kamar. "Mama dan Papa sudah berpisah, tapi mereka bertemu dan bertengkar di depanku, tidak ada bedanya seperti sebelum mereka berpisah. Setiap mereka bertemu, mereka hanya bertengkar. Segalanya menjadi alasan pertengkaran mereka. Mendengar pertengkaran itu, telingaku jadi sakit." Nana memejamkan matanya. "Tidur di sini rasanya nyaman sekali. Jadi, aku akan tidur di sini saja."
Bukh! Sebuah bantal sofa berwarna hitam dengan tulisan #goodnight yang berwarna putih, menubruk wajah Nana.
"Hei!" Nana menyingkirkan bantal itu dari wajahnya dan menoleh kesal. "Apa—"
KAMU SEDANG MEMBACA
Goldfish
Teen FictionPindah dari Jakarta ke Seoul membuat Nana harus menyesuaikan diri dengan perubahan yang ada. Menjadi siswi kelas 2 SMA di sekolah barunya ternyata tidak mudah. Hari-hari yang mengesalkan dan membosankan dimulai. Hingga Nana menemukan sesuatu yang da...