"Ah, benar-benar bodoh. Yang dilakukannya itu ..."
Nana menatap ke arah dinding yang ditempeli foto-foto wajah yang dikenalinya. Dinding penuh foto itu adalah dinding di dalam kamar Ri-hwan.
"Memangnya kau pikir kau itu super hero?" Nana berkata pada dinding di depannya. "Membantu orang-orang seperti itu ..."
"Di sini rupanya." Ri-hwan muncul di pintu kamar. "Sedang apa? Tidak mau ikut?"
Nana menoleh. "Sudah mau berangkat?"
"Iya! Ayo, cepat!"
Nana beranjak dari tempatnya. "Oke!" Nana melangkah keluar kamar sambil menekan tombol kontak di ponselnya.
"Menelepon siapa?" Ri-hwan bertanya saat melihat Nana menempelkan ponsel di telinga.
"Yah, orang ini. Sudah kukirimi pesan berkali-kali, tapi dia nggak menjawab."
***
"Nana, ada apa ini?" Haneul bicara di ponselnya. "Kenapa meminta maaf terus?"
"Yah ... aku hanya terus merasa bersalah." Suara Nana terdengar di ponsel Haneul. "Oppa akan memaafkan aku, 'kan?"
"Kau tidak melakukan kesalahan. Jadi, berhentilah meminta maaf seperti itu."
"Tapi, aku tetap ingin minta maaf. Karena aku sudah membuat Oppa melakukan itu ..."
Haneul mengernyit dan terdiam. Ia teringat ketika Nana mengatakan padanya tentang kasus pencurian di sekolah.
"Oppa, aku melihat saudara kembarmu bicara dengan guru. Sepertinya dia dituduh melakukan pencurian," kata Nana dengan berbisik, suatu hari saat mereka berdua berbincang di taman sekolah. "Sepertinya, jika dia tidak berhasil mengungkapkan siapa pencuri yang sebenarnya, dia akan mendapakan sanksi dari sekolah."
"Begitukah?"
"Saudara kembar Oppa tidak melakukan itu, 'kan?"
"Ya. Tentu saja dia tidak melakukan hal seperti itu," Haneul berkata saat itu.
"Kalau begitu, Oppa, bukankah pelaku yang sebenarnya harus ditemukan?" Nana berkata seolah dia sudah mengetahui siapa pelaku yang sebenarnya. "Haruskah kita mengungkapkannya?"
Haneul ingat dengan jelas setiap kalimat yang mereka berdua ucapkan saat itu. Ia pun ingat jawaban apa yang dikatakannya untuk pertanyaan yang diajukan Nana. "Nana, Oppa tidak bisa membantumu mengungkapkannya."
"Kenapa?"
"Kenapa kau harus melakukan ini?"
Mendengar kalimat yang diucapkannya, Nana menatap padanya dengan tatapan yang tidak dapat Haneul lupakan.
Dan, ingatan tentang percakapan di hari itu pun mengabur saat suara Nana terdengar di telinganya.
Haneul keluar dari lamunannya.
"Karena ... jika Oppa tidak melakukannya, orang yang tidak bersalah akan menanggung akibatnya. Karena ... aku ingin Oppa tetap menjadi orang yang baik seperti yang kukenal. Karena itulah ..." Suara itu berhenti sejenak. "Emmm, aku melakukan itu. Aku harus melakukannya, agar Oppa ... mengakuinya sendiri. Dan, aku terus saja merasa bersalah padamu, Oppa."
"Itu ..." kalimat Haneul menggantung. Ia teringat lagi saat ia menerima pesan dari Nana di malam ulang tahun sekolah.
'Oppa, aku sedang menuju ruang BK. Gelangnya ditemukan di dalam dompetku. Apa yang harus kulakukan?' Sebuah pesan dikirim ke ponsel Haneul pada saat itu. 'Oppa ... akan menolongku, 'kan?' Pesan itu datang lagi saat ia tidak juga menjawab. Pesan yang membuatnya datang ke ruang BK setelah berpikir cukup lama. Pesan yang kemudian membuatnya harus melakukan sesuatu yang tidak ia inginkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Goldfish
Ficção AdolescentePindah dari Jakarta ke Seoul membuat Nana harus menyesuaikan diri dengan perubahan yang ada. Menjadi siswi kelas 2 SMA di sekolah barunya ternyata tidak mudah. Hari-hari yang mengesalkan dan membosankan dimulai. Hingga Nana menemukan sesuatu yang da...