HC 7

726 29 7
                                    

“Makna Cinta”

Adapun soal “Cinta”, aku mempunyai definisi dan tafsiran tersendiri. Sejak awal kedatanganku di Yaman, aku mulai mencari dan meneliti apa itu cinta menurut para pakarnya. Berikut adalah sebagian dari hasil risetku selama ini:
Ibn Hazm menyebutkan dalam Thouqul Hamamah Fil Ulfah Wal Ullaf: “Cinta itu --semoga Allah memuliakanmuawalnya adalah canda dan akhirnya adalah keseriusan. Maknanya terlalu detail untuk dikupas. Hakikat cinta takkan bisa pahami kecuali dengan susah payah. Cinta tidak diingkari dalam agama, tak pula haram dalam Syari’at. Sebab hati itu ada dalam genggaman Allah swt.”

Masih dalam kitab yang sama, Ibn Hazm menuturkan: “Cinta itusemoga Allah memuliakanmuadalah penyakit yang mematikan. Di dalam cinta terdapat obat sesuai kadar perlakuannya, tempat yang disenangi, dan sakit yang dinikmati, sakit yang penderitanya enggan untuk sembuh, yang pengidapnya enggan untuk sadar.”

Tak beda jauh pemaparan Ibn Hazm, Dr. Muhammad Sa‟id Ramadhan Al-Buthi mengungkapkan dalam kitabnya Minal Fikr Wal Qolb saat beliau ditanya tentang apa hukum cinta dalam Islam? Beliau menjawab: “Islam tidak menghukumi apa-apa tentang cinta. Sebagaimana Islam tidak menghukumi kebencian, kesedihan, rasa takut dan rasa lapar.

Maka dari itu Cinta juga tidak dihukumi apa-apa oleh Islam. Islam tak pernah berkata: “Jangan lapar, jangan membenci, jangan mencintai”. Akan tetapi Islam berkata: “Kalau kau lapar, jangan mencuri. Kalau kau membenci, jangan mendzolimi. Dan, jika kau mencintai janganlah menyeleweng (dari Agama).” Dari sini bisa kita simpulkan, Islam tidaklah menghukumi perasaan. Akan tetapi Islam menghukumi reaksi dari perasaan itu.”

Masih dalam kitab yang sama, Dr. Buthi menuturkan setelah panjang lebar membahas cinta adalah siksa: “Adakah di dunia ini siksaan yang membawa kebahagiaan melebihi cinta? Apakah manusia pernah mendengar tentang sebuah api yang tiap kali berkobar dan tersebar justeru membuat yang terbakar semakin menikmati selain Api Cinta?”
“Apakah kau belum mendengar kisah Qais Al-Amiri (Majnun) ketika ia dan ayahnya pergi ke Baitullah setelah Qais putus asa untuk mendapatkan Laila. Ia berharap agar dido’akan mendapatkan kesembuhan dari cinta kepada Laila, dan berharap agar do’a itu dikabulkan. Ketika Ayah Qais tiba di Ka’bah ia berkata: “Bergantunglah pada kain penutup Ka’bah dan mintalah kepada Allah agar menyembuhkanmu dari cinta Laila.” Qais lantas bergantung pada kain Ka’bah, hanya saja ia malah berdo’a: “Wahai Allah tambahlah kecintaanku pada Laila dan jangan Kau buat aku melupakannya selamanya.”

Syeikh Jakfar As-Sarraj menyebutkan di awal kitab Mashori‟ul Usysyaqnya tentang pengertian cinta dalam sebuah riwayat dari Abu Al-„Aliyah Asy-Syami: “Amirul Mu‟minin Al-Ma‟mun bertanya kepada Yahya Bin Aktsum tentang cinta, “Apakah cinta itu?” Yahya berkata: “Cinta adalah sesuatu yang menimpa seseorang, lantas hatinya disibukkan dengan perkara itu.
Sedangkan jiwanya terpengaruh oleh hal itu.”

Tsumamah lantas berkata:
“Diamlah hai Yahya! Kau seharusnya menjawab perkara Talak atau seorang yang sedang Ihram yang berburu rusa atau membunuh semut.
Adapun dalam hal ini (cinta) adalah urusan kami.”

“Al-Ma‟mun berkata: “Katakanlah hai Tsumamah apa itu cinta?”
Tsumamah berkata: “Cinta adalah teman duduk yang menyenangkan dan kawan yang menentramkan. Cinta adalah sahabat yang memikat dan raja yang memaksa. Jalur-jalur cinta sangatlah lembut dan aliran-alirannya sangat pelik. Akan tetapi hukum-hukum tentangnya adalah mubah. Cinta adalah raja yang menggenggam jasad dan ruh, menguasai hati dan lintasan-lintasannya, mengarahkan mata dan pandangannya, mempengaruhi akal dan pikiran. Cinta memberikan tali kendali ketaatan akal dan kemudi arahnya. Jalan masuk cinta tak nampak pada pandangan
dan singgasananya tak terlihat di dalam hati.Al-Ma‟mun berkata: “Bagus sekali –Demi Allah– wahai Tsumamah!” Kemudian Tsumamah diberi seribu dinar.

Hakikat CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang