"Discaaaa, sarapan yuk", teriak mama dari lantai bawah untuk mengajakku sarapan bersama. Suaranya terdengar sayup di telinga ku. Maklum, aku baru saja bangun tidur.
"Ayo sayang sarapan bareng dulu. Mama udah siapin makanan kesukaan kamu", bujuk mama yang sekarang sudah dikamar agar aku cepat bangkit dari kasurku.
"Baru jam segini lho, ma, ngapain bangun cepet-cepet sih?", ujarku jengkel karena masih saja di hari Minggu begini dibangunkan pagi-pagi. "Ada yang mau mama kasih tau ke kamu"
Akhirnya aku menuruti permintaan mama dan segera turun menuju ruang makan. Aku mencuci muka terlebih dahulu agar kesadaranku terkumpul semua.
Pada saat aku tiba di meja makan, ku lihat papa sedang menikmati kopi hitamnya sambil membaca koran. Aku heran dengan keluarga ku yang selalu bangun pagi walau di hari libur. Sedangkan aku tidak demikian.
Aku segera duduk di hadapan mama dan papa. Ya, aku hanyalah anak semata wayang. Orang tuaku memang super sibuk, hidupnya selalu berurusan dengan bisnis dan bisnis saja.
"Dis, ada yang mau papa kasih tau ke kamu", ucap papa sambil menaruh gelasnya. "Iya, pa?"
"Minggu depan papa di mutasi ke luar kota. Papa bawa kamu sama mama buat ikut kesana. Otomatis kamu harus pindah sekolahnya, Dis"
"Terus, pa?", tanyaku. Aku belum menemukan maksud inti pembicaraan papa tadi.
"Daerahnya beda banget sama yang disini. Mungkin kamu akan kesusahan buat transportasi dan komunikasi. Makanya, kamu nanti tinggal di asrama yang udah sekolah siapin, biar gak repot. Pokoknya daerah sana bener-bener beda, gak seperti di kota"
"Pelosok banget, pa?"
"Iya, Dis. Tapi kamu gak sendirian kok"
"Maksudnya, pa?"
"Nanti kamu ditemani sama Rillo. Papanya sama-sama di mutasi kesana bareng papa"
"Bareng Rillo, pa? Syukurlah kalo ada dia", balasku sambil menegak teh manis hangatku.
"Kamu disana harus mandiri, sayang. Apa-apa serba sendiri", timpal mama.
"Santai aja, ma. Aku bisa kok. Yang penting ada Rillo, semua pasti beres", ucapku.
Aku dan Rillo memang sudah bersahabat dari kecil. Keluarga ku dan keluarga Rillo berteman sudah cukup lama. Ya, papa ku dan papanya Rillo lebih tepatnya. Mereka berdua bekerja di instansi yang sama. Sejak dari TK hingga SMA, aku dan Rillo selalu ditempatkan di sekolah yang sama. Tapi tenang, hubunganku dengan Rillo memang murni sebatas sahabat. Rillo sudah mempunyai kekasih, dan aku memang tidak pernah menaruh hati sedikitpun kepadanya.
Aku memilih menonton tv seusai sarapan. Aku terus mengganti-ganti channel tv, tapi aku tidak mendapatkan acara kartun favoritku di hari Minggu begini.
Yaelah, gak ada yang bagus.
Aku masuk lagi kedalam kamar dan memilih untuk berselancar di internet. Seperti biasa, aku membuka situs streaming film kesukaan ku.
Ada film horor yang bagus gak ya?
Pada saat mencari-cari film, aku mendengar ponselku berdering. Ternyata telfon masuk itu dari Rillo.
"Iya, Lo kenapa?"
"Dis, lu dikasih tau sama bokap lu gak kalo kita pindah sekolah?"
"Iya, dikasih tau. Lu barusan juga?"
"Iya, Dis. Awas ye selama disana lu ngerepotin gue. Kita disana apa-apa serba sendiri, pake usaha"
"Iye ah bawel lu. Gue buktiin gue bisa mandiri"
"Hahahaha nah gitu dong. Yaudah gue cuma ngasih tau itu doang sih. Bye, Dis"
"Bye"
Aku menutup telfon dan kembali melanjutkan kegiatan ku. Aku memilih untuk menonton film horor asal Thailand. Suasana horor semakin didukung dengan langit yang berubah gelap dan bunyi gemuruh petir yang saling bersahutan.
Sstt...
Pikiranku terbuyarkan ketika aku mendengar sesuatu dibalik jendela kamar. Aku melihat sesosok bayangan hitam melintas.
Itu tadi apaan? Gak mungkin manusia yang lewat. Kamar ini 'kan di lantai 2.
Diriku penasaran dengan apa yang baru saja ku lihat. Aku mencoba membuka gordin jendela, namun hasilnya tak ada apa-apa.
Tapi, udara di kamar berubah menjadi sesak. Aku merasa udara kamar saat ini tengah memelukku. Ketika aku membalikkan badan, aku lihat di kaca lemariku terdapat sosok wanita berbaju putih dengan rambut panjang yang menutupi wajah sedang berada di punggung ku. Posisinya seperti aku menggendong makhluk itu.
Sontak aku menoleh ke belakang untuk memastikan. Namun, nihil. Karena tak ku dapati sosok itu, akhirnya aku menoleh kedepan lagi.
"Hey, kamu kenapa sayang?"
Aku kaget ternyata mama sudah ada di depan wajahku. Sejak kapan dia masuk?
"Haduh, ma. Bikin aku kaget aja. Aku gak kenapa-kenapa kok, ma", balasku.
"Oh yaudah deh kalo gitu mama tinggal ya"
Aku sempat memegang tangan mama. Namun, ada yang aneh. Tangannya terasa dingin sekali. "Mama sakit?", tanyaku. "Ngga kok sayang. Mama tadi baru selesai mandi"
Aku mengiyakan saja jawaban mama. Wajar saja, apalagi cuacanya sedang hujan begini. Mama telah keluar dari kamarku. Tetapi, ada yang membuatku tak habis pikir.
"Halo, ma?"
"Sayang, mama lupa gak pamit ke kamu. Mama lagi dijalan sama papa mau ke rumah temen mama. Rumah jangan lupa dikunci ya sayang"
"Mama udah pergi dari tadi?"
"Iya sayang. Maaf ya, Dis, mama buru-buru soalnya. Makan siang udah mama siapin ya. Kalo ada apa-apa, telfon mama ya sayang. Dah"
Aku menutup telfon mama dengan pikiran yang kacau. Terus yang tadi ngobrol sama gue siapa?

KAMU SEDANG MEMBACA
Kamar 413
HorrorBagaimana rasanya bila sebelumnya hidup dan sekolah di perkotaan, kini harus tinggal di daerah pelosok? Mungkin untuk Disca, si manja, akan mengalami kesulitan. Apalagi kalau tidak ada Rillo, sahabatnya. Tapi bagaimana kalau asrama mereka ternyata...