Elena

18 0 0
                                    

Aku buka perlahan kelopak mataku. Kuarahkan pandanganku menuju jam dinding berlogo kampus tercinta "Al-Azhar University" yang tepat berada ditengah dinding kamar yang sebagian catnya mulai terkelupas dan memudar.

Astaghfirullah,” Gumamku. Ternyata sudah jam 18.30. Lumayan lama juga aku tertidur, sampai tertinggal kewajiban kepada Allah. Aku segera bangun dari ranjang kumuh yang masih setia menjadi alas tidur dan berjalan menuju kamar mandi untuk mensucikan diri dari hadats kecil guna menunaikan Sholat magrib.

Ditengah melaksanakan Sholat aku merasa seperti mengingat sesuatu, yah beginilah gambaran hamba amatiran, masih sempat-sempatnya memikirkan hal lain saat beribadah. Setelah selesai shalat dan berzikir aku berfikir sejenak mencoba mengingat kembali hal apa yang terlupakan. Sedetik, dua detik, tiga detik, semenit . . .ah lupakan.

arrab minni suwayya-suwayya alby wa albak sawayitlauh”. Tiba-tiba suara merdu Amr Diab yang kujadikan nada dering membuyarkan lamunan semu. Kuambil handphoneku dari meja belajar, kuterima panggilan dari nomor yang belum disave itu.

“Fikri, amil eih (bagaimana kabarmu) kamu tidak lupa janji kita malam ini kan?” ujar suara lembut dari ujung sana.

Alhamdulillah kuwaiys (Alhamdulillah baik) Maaf dengan siapa ini?”

“Puji Tuhan kalau kamu baik. Ini aku Elena, Fikri!”

“Oh, , , Astaghfirullah al adzhim. Untung kamu hubungi aku, hampir saja lupa. Ngomong-ngomong kenapa nomor kamu ganti?”

“Huh dasar kebiasaan, pelupa. Aku ganti nomor supaya provider kita sama-sama Vodafone, hehehe. Pokoknya jam 8 jangan lupa, aku tunggu kamu di Costa café, Stanley Bridge. Jangan terlambat!”

Insya Allah, nanti habis Isya aku berangkat dari rumah.”

Laa tataakhorAssalamu’alaikum.” (jangan sampai terlambat!)

“Eh, , , Waalaikum salam warahmatullah wabarokatuh.”

Aku sempat speechless saat mendengar kata-kata terkhirnya, karena ini pertama kalinya aku mendengar Elena memberi salam kepadaku. 

Ah , , , Wanita itu selalu saja memberikanku kejutan. Seketika Pikiranku melayang mengingat kejadian satu tahun yang lalu saat pertamakali kami tanpa sengaja bertemu di Stanley Bridge.

Elena Versluis, seorang perempuan muda yang cantik dan anggun, kurasa itulah kata yang tepat untuk menggambarkan sosoknya. Wajah blasteran Indonesia-Belanda dan mata birunya makin menambah kesan keanggunan, terlebih jika tubuhnya dibalut busana Muslimah. Tapi hal itu tidak mungkin terjadi karena Elena adalah seorang pemeluk Katolik yang taat. 

Elena sedang menempuh pendidikan S1 jurusan arsitekur di Alexandria University. Meskipun kami sudah mengenal cukup lama, namun aku masih belum tau apa alasan dia lebih memilih kuliah di Mesir daripada Eropa. Karena setiap aku menanyakan alasannya dia selalu mengalihkan topik pembicaraan. Jadi setelah itu aku tidak pernah bertanya lagi masalah itu.

Cahaya Islam Dari Laut MediteraniaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang