Sudah hampir 15 menit aku menikmati perjalanan dari kediamanku didaerah Mansiyah. Perkiraanku beberapa menit lagi mobil ini akan sampai di Stanley Bridge. Kemudian handphoneku berbunyi menandakan ada pesan Whatsapp yang masuk. Saat kulihat ternyata pesan itu dari Elena.
"Aku sudah sampai di Costa café. Kamu dimana, sudah dekat belum?"
Lalu segera ku balas
"Sebentar lagi sampai."
"Yasudah, nanti naik aja ke lantai dua dekat jendela!"
"Oke."
Tiga menit kemudian tramco yang aku tumpangi mulai memasuki kawasan Stanley Bridge. Beberapa meter sebelum mobil ini melewati Costa café aku berkata kepada supir disebelahku.
"Ala ganbi yastoh!" (kiri om supir)
"Masyi ya shodiq." (oke sob)
Cafe ini terletak persis disamping jalan protokol, jadi setelah turun dari tramco aku langsung berhadapan dengan pintu masuk cafe. Saat ku buka pintu kaca transparan bertuliskan Costa cafe, aku langsung disambut dengan ramah oleh pegawai yang mengenakan setelan rapi. Kubalas senyum ramahnya dan bergegas menuju tangga dipojok ruangan menuju ke lantai dua sambil mencari Elena yang sudah sampai beberapa menit sebelumku.
"Fikriii, disini!" seseorang yang suaranya sudah tidak asing lagi memanggilku.
Aku lambaikan tanganku sembari menghampiri si pemilik suara yang malam ini mengenakan sweater abu-abu dengan aksen hitam yang dipadukan dengan celana jeans dengan warna senada dan disempurnakan dengan selendang yang dililitkan menghiasi lehernya. Sangat anggun.
"Apa kabar? Maaf ya sudah menunggu"
"Aku baik. Tunggu dulu, kenapa kamu ga memberiku salam khas agamamu?"
"Mmmm karena kamu kan, , , oke aku ulangi ya. Assalamu 'alaikum apa kabar? Maaf ya sudah menunggu."
"Hihihi, Wa 'alaikum salam. Ga usah diulangi selengkap itu juga kali."
"Gimana si, tadikan kamu minta diulangi, ya aku ulangi."
"Hehehe iya deh iya. Eh kita pesen dulu ya."
"Oke"
Elena mengangkat tangannya memberi isyarat kepada salah seorang pelayan yang selalu siap sedia memperhatikan pelanggan yang membutuhkan khidmatnya. Karena kebetulan cafe sedang tidak terlalu ramai, maka saat melihat ada tangan pelanggan yang terangkat dengan sigap pelayan muda itu datang dengan membawa dua buah daftar menu untuk diberikan kepada kami.
"Tafadhal," (silakan) ujarnya selagi memberikan daftar menu.
Aku buka tiap lembaran daftar menu mencari minuman dan cemilan yang menarik perhatianku. Selagi aku masih memilih Elena sudah memutuskan.
"Lau samahta ana aizh wahid Frappe, wa wahid Chocolate Cake." (saya mau Frappe dan satu kue coklat)
"Kabir wala Sugoyar?" (ukuran besar atau kecil?)
"Kabir." (yang besar)
Lalu aku berkata kepada pelayan: "Ana aizh wahid Ice Green Tea kabir, wa Tiramisu wahid." (Saya ingin satu Green Tea ukuran besar dan satu Tiramisu).
"Masyi. Frappe kabir wahid, Ice Green Tea kabir wahid, Chocolate Cake wa Tiramisu wahid. Soh?" (Oke, Frappe besar satu, Ice green tea besar satu, kue coklat dan tiramisu satu. Benar?) Dia mengulagi pesanan kami.
"Soh sodiqi." (Benar kawan) kami berdua menegaskan.
Setelah yakin dengan pesanan kami, pelayan tersebut pergi ke lantai satu memberikan estafet pesanan kepada barista dan pastry chef.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cahaya Islam Dari Laut Mediterania
Historia CortaElena Versluis, seorang perempuan muda yang cantik dan anggun, kurasa itulah kata yang tepat untuk menggambarkan sosoknya. Wajah blasteran Indonesia-Belanda dan mata birunya makin menambah kesan keanggunan, terlebih jika tubuhnya dibalut busana Musl...