Stanley Bridge

13 0 0
                                    

Stanley Bridge atau Jembatan KCB (Ketika Cinta Bertasbih) begitulah Masisir menyebutnya. Jembatan yang konstruksinya melintasi laut dengan panjang 400 meter, dengan arsitektur khas menggambarkan sifat kosmopolitan kota di Mesir. Dikalangan Masisir jembatan ini juga terkenal dengan nama jembatan KCB , karena tempat ini pernah dijadikan latar dalam salah satu scene pada film besutan Habiburahman El-Syirazy tersebut. Bagiku jembatan ini adalah sebuah teropong raksasa. Ya, teropong untuk menikmati panorama Mediterania. Dan ditempat ini Tuhan mempertemukan kami.

Waktu itu disore hari tanggal 15 Agustus, aku bersama temanku Fuad memutuskan untuk break sejenak dari kegiatan hibernasi kami dan pergi memancing dari pinggir Stanley Bridge, karena kebetulan udara Alexandria sedang bersahabat saat itu. Ketika sedang asyik memancing tanpa sengaja mata kailku tersangkut pada plastik yang dibawa seorang perempuan sehingga merobek plastik tersebut dan menyebabkan buah delima yang ada didalamnya berjatuhan. Tanpa pikir panjang, aku segera berlari meninggalkan fuad yang masih asyik memancing untuk membantu perempuan itu mengumpukan delima-delima yang terjatuh sambil meminta maaf.

Ana asif ya Anisah. Hadza Laysa asdi.” (maafkan saya kawan, saya tidak bermaksud berbuat demikian)

Laysa musykillah ya shodiqiy.” (tidak masalah kok kawan)

Selagi aku membantu memungut delima yang berjatuhan dia bertanya kepadaku.

Inta min ayyi balad?” (kamu berasal dari Negara mana?)

Ana min Indunisiyah.” (saya berasa dari Indonesia)

Oh ana bardu min Idunisiyah, ismy Elena. Ismak ieh?” (oh saya juga dari Indonesia, namaku Elena. Siapa namamu?)

Masya Allah Andunisiyyah lakin ka’annaki laysa min Indunisiy. Wasmi Fikri.” (Masya Allah kamu orang Indonesia, tapi rupamu tidak seperti orang Indonesia. Nama saya Fikri)

“Masa iya ngga kelihatan Indonesianya? Ngomong-ngomong terimakasih sudah membantuku Fikri,” ujarnya sambil tersenyum

“Iya saya serius kamu tidak seperti orang Indonesia. Loh, loh, loh, tidak perlu berterimakasih. Malah saya yang seharusnya minta maaf karena sudah ngerusak plastikmu.” Kubalas senyumnya dengan senyum bercampur rasa bersalah.

“ya sudah kalau gitu aku mau pulang dulu ke apartemen. Selamat sore.”

“Iya selamat sore, hati-hati.”

Itulah awal pertemuanku dengan Elena Versluis. Stanley Bridge telah mempertemukanku dengan seorang perempuan yang penuh kejutan. Sebagai teropong Mediterania, dan salah satu ikon kota Alexandria, tempat itu memiliki sejarah khusus untukku.

Waktu telah menunjukkan pukul 19.00. Azan Isyapun sudah bersahut-sahutan diseluruh langit Alexandria. Aku sudah siap dengan pakaianku, celana jeans dan jaket bomber hitam kesayangan. Kuperiksa kembali tiga barang yang wajib aku bawa ketika bepergian dompet, handphone, dan paspor. Setelah semuanya sudah tersimpan rapi didalam saku, aku keluar dari apartemen dan segera menuju ke Masjid untuk sekalian melaksanakan sholat Isya terlebih karena Iqamat sudah dikumandangkan.

Setelah Sholat aku segera berjalan menuju pangkalan tramco mencari mobil yang masih kosong, mengamankan tempat favoritku, kursi disamping supir. aku sangat senang duduk ditempat ini karena setiap duduk disini, aku dapat menikmati keindahan panorama selama perjalanan dipinggir pantai Alexandria.

Oh ya ngomong-ngomong tentang Alexandria, jika Pepatah Bandung Berkata: “Bumi Pasundan lahir ketika Tuhan sedang tersenyum”. Dan jika Yogyakarta disanjung “ Jogja selalu punya cerita dan romansa disetiap sudutnya”, maka Alexandria juga dipuja sebagai “Pearl of Mediterranean”. Karena keindahannya tersohor keseluruh penjuru laut Mediterania sebagai mutiara yang berharga.

Membutuhkan waktu sekitar 20 menit dari tempatku menuju Stanley bridge jika lalu lintas sedang lancar, dan 40 menit jika sedang padat. Namun menurutku semua waktu itu tidak terasa jika sudah menikmati suasana Alexandria.

Jika melihat jalanan malam ini aku rasa perjalanan akan berlangsung singkat. Dan benar saja seperti perkiraanku, baru 10 menit berjalan, tramco yang aku tumpangi sudah melewati Bibliotek Alexandria, hal ini menandakan bahwa jalanan sedang lenggang.

“Sudah lewat Bibliotek ya, Hmmm , , ," lirihku pelan. Disini kedua kalinya kami bertemu, dan ditempat ini kekagumanku kepada Elena mulai muncul

taul eih ya shodiq?”(kamu ngomong apa bro?) Kata supir tramco disampingku. 

Dia kira aku berbicara kepadanya.

laa yastoh,” (ngga ngomong apa-apa Om supir) jawabku.

Cahaya Islam Dari Laut MediteraniaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang