Bibliotek

10 1 0
                                    

Memang sejak kejadian "kail tersangkut" di Stanley Bridge aku seakan lupa jika pernah bertemu dengan Elena. Ya, menurutku itu wajar, karena disamping aku disibukkan dengan kegiatan menulis, kami pun tidak saling berkomunikasi satu sama lain, dan juga Elena bukanlah mahasiswi Al-Azhar sehingga membuat kami tidak pernah bertemu di event-event yang bertema ke-Azharan.

Sampai tiga bulan kemudian tepatnya dibulan November. Disaat musim dingin masih seperti gadis perawan yang malu menampakkan kesejukkannya. Tidak sengaja kami kembali bertemu di Bibliotek Alexandria. Sebuah perpustakaan megah yang terletak dipantai laut Mediterania. Arsitekturnya modern nan indah dengan bentuk menyerupai jam matahari. Memiliki ruang panjang untuk delapan juta buku dengan ruang baca utama yang meliputi 70.000 m2 atas sebelas tingkat cascading. Bisa dibilang perpustakaan ini merupakan salah satu bangunan dengan desain terunik di kota Alexandria. Tempat ini merupakan perpustakaan utama dan pusat budaya terbesar di Mesir saat ini, dan pernah menjadi perpustakaan terbesar didunia pada masa kuno.

Kala itu seperti biasa setelah zuhur aku pergi ke Bibliotek Alexandria guna mencari referensi yang akan ku gunakan dalam proyek tulisanku. Mengunjungi tempat ini sudah seperti rutinitas bulananku, karena selain menyimpan koleksi lengkap dari seluruh dunia, bagiku tempat ini juga merupakan syurga inspirasi, dan yang paling istimewa ada Wi-Fi gratis, hahaha. Lalu dari koridor rak sekilas aku melihat seorang perempuan yang mengenakan blazer biru dongker keluar menuju ruang baca sambil membawa banyak buku yang ukurannya lebih besar dibanding buku-buku pada umumnya.

"Banyak sekali dia membawa buku itu. Apa tidak takut jatuh," ujarku sambil mencatat beberapa hal penting yang ku temukan.

Baru beberapa detik kalimat itu terucap tiba tiba.

"Brakkk," terdengar suara buku jatuh yang memenuhi seluruh ruang baca dilantai 4 ini.

Ku alihkan sebentar pandanganku mencari sumber suara tersebut yang ternyata berasal dari perempuan itu. Terlihat beberapa pengunjung menatapnya dengan tatapan sinis bahkan sebagian ada yang menggerutu. Mungkin merasa terganggu dan terkejut dengan suara tadi. Sedangkan aku tidak terlalu memerdulikan hal itu dan kembali meneruskan membaca.

Kemudian salah satu petugas perpustakaan menghampirinya untuk membantu mengambilkan buku-buku yang terjatuh sambil sedikit memarahi. Wajar saja menurutku, mengingat itu juga kesalahannya karena ia terlalu ceroboh membawa banyak buku sekaligus. Lalu entah mengapa dari sekian banyak tempat yang kosong, perempuan tadi malah menghampiri mejaku dan duduk tepat di depanku. Namun aku tidak menghiraukannya dan tetap fokus dengan buku-buku.

"Fikri? Kamu Fikri kan?"

Sepertinya perempuan ini baru saja me-mention namaku. Aku menoleh kearahnya. Ku perhatikan wajahnya dalam-dalam sambil berkata dalam hati.

"Kok sepertinya aku pernah melihat bule ini, tapi dimana?"

Cukup lama aku mengingat dan menerka sosoknya dengan raut wajah kebingungan. Mungkin karena gemas aku tak kunjung mengingatnya, perempuan itu menegaskan sekali lagi.

"Kamu Fikri kan? aku Elena," ucapnya sambil tersenyum

"Ya aku Fikri. Oh, , , Elena. Stanley Bridge?"

"Ayyuwah soh (iya benar), masa lupa si sama orang yang plastik buahnya pernah kamu robek!"

"Hahaha, tidak perlu diingat ingat lagi kejadian memalukan itu."

"Gimana bisa lupa coba. Eh ngomong-ngomong kamu lagi ngapain disini?"

"Aku lagi mencari referensi untuk buku yang sedang aku garap. Kamu sendiri?"

"Aku juga mencari referensi buat tugas kuliah. Nih aku ambil buku banyak banget besar-besar lagi, makanya tadi sampai jatuh ."

"Hahaha, , , kamu mengganggu satu ruangan tahu. Kenapa bisa sampai jatuh?"

"Huh, bukannya dibantuin malah diketawain, dasar. Ya soalnya aku males bolak-balik ambil buku, Jadi aku bawa semuanya aja. Terus karena pandanganku terhalang buku, ga sengaja menabrak kursi petugas deh hehe."

"Maaf, bukannya tidak mau membantu. Tapi aku belum sadar kalau itu kamu. Kalau boleh tau kamu kuliah dimana?"

"Aku juga awalnya ragu waktu liat kamu dari jauh, tapi pas aku deketin ternyata orang Indonesia yang aku kenal. Aku kuliah di Alexandria University, jurusan Arsitektur. Dan biar kutebak. Hmm , , , kamu Pasti kuliah di Al-Azhar, benar kan?"

"Wah dekat sekali dong dari sini! Ya betul sekali aku kuliah di Al-Azhar."

Tak ku sangka makin lama obrolan kami makin seru. Karena selain kami memiliki minat dan pandangan yang sama, ternyata Elena juga tergolong wanita yang open minded dan kritis, dia pun mudah akrab kepada orang baru sehingga membuatku kerasan mengobrol dan berdiskusi dengannya, begitupun yang ia rasakan. Buku-buku yang tadinya kami baca malah terabaikan.

Dari obrolan ini juga kami sedikit banyak mengetahui latar belakang kehidupan masing-masing. Kami saling berbagi informasi pribadi seperti nama lengkap, alamat apartemen, dan minat kami. Rasa penasaranku juga terjawab, seperti kenapa wajahnya seperti bule tanpa terlihat sedikitpun tanda ke Indonesiaan, mengapa ia memilih Alexandria, dan agama yang ia anut. Dua jam sudah obrolan dan diskusi kami mengalir tanpa terasa azan Ashar mulai berkumandang.

"Allahu Akbar Allahu Akbar" Terdengar suara azan yang dipancarkan pengeras suara disetiap sudut ruangan.

"Damai ya, aku sangat senang mendengar lantunan ini."

"Senang, memang apa yang kamu rasakan saat mendengar azan Elena?"

"Entahlah, walaupun aku tidak mengerti arti dari kata-kata ini, namun setiap kali aku mendengar lantunannya seakan aku dibisiki oleh sesuatu dari dimensi lain."

Aku hanya diam mendengarkan ucapannya. Bagiku ini adalah ungkapan paling jujur yang aku dengar selama ini. Seorang yang beragama katolik dapat menyelami esensi kedamaian yang tersirat dalam lantunan azan.

"Aku sungguh iri dengan kalian orang Islam," lanjutnya

"Kenapa kamu iri?"

"Aku iri karena agama kalian sangat perhatian. Islam sangat perhatian kepada pemeluknya. Dengar saja azan ini! Setahuku azan itu seruan dan ajakan untuk melaksanakan ibadah, bukankah kalau begitu kalian sangat diperhatikan? Bahkan dalam sehari semalam saja kalian diperhatikan sebanyak lima kali."

Bagaikan ditusuk belati yang sangat tajam, aku begitu tersentak dengan kata-katanya. Sebenarnya itu hanya kalimat sederhana, namun yang membuatnya sangat bermakna karena diucapkan oleh seorang Katolik. Yah andai saja semua orang Islam berpikiran seperti Elena. Dia merasa damai saat mendengar azan, sedangkan Muslim itu sediri merasa terbebani setelah mendengar azan. Bahkan yang lebih parah pernah ada seorang wanita musimah yang cukup terpandang menulis dalam puisinya bahwa lantunan azan kalah merdu jika disandingkan dengan suara kidung ibu Indonesia. Ironi menurutku.

Tanpa terasa air mataku menetes karena terharu sekaligus sedih mendengar curhatannya. Terharu karena kedamaian agama ini bisa dirasakan olehnya, dan sedih karena aku sendiri sebagai orang Muslim yang sedari keluar dari rahim ibuku sudah di azankan dan di Iqomahkan, jarang sekali bisa menikmati lantunan azan sebagaimana yang dirasakan Elena. Perempuan ini telah mengejutkanku dan aku pun mulai kagum dengan sosoknya.

"Nih tisu. Aku lihat kamu menangis," ucapnya sambil menyodorkan sebungkus tisu yang masih baru kepadaku.

"Tidak, aku tidak menangis. Tadi ada lalat menempel dimataku." Ujarku sambil mengusap butiran air jernih yang menetes di pipiku.

"Hahaha, Fikri, Fikri. Mana ada lalat diruangan ber-AC gini. Kamu lucu juga ya. Bilang aja kamu menangis tapi malu ngomong. Tuh liat pipi kamu merah."

"Yasudah, aku mau mengembalikan buku-buku ini, karena aku harus pulang sekarang."

"Sudah mau pulang. Eh sebelum itu aku boleh minta nomor handphone kamu?"

"Boleh. Sebentar, aku tulis dulu." Aku tulis nomor handphoneku disecarik kertas dan memberikannya.

"Nanti kalau aku ajak diskusi lagi mau ya, soalnya kamu asyik orangnya."

"Insya Allah jika sempat akan ku ladeni. Aku pamit duluan ya. Assalamu'alaikum."

"Hati-hati ya Fikri. Bye."

Cahaya Islam Dari Laut MediteraniaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang