2

29 4 1
                                    

Ya, akhirnya aku tersadar hal yang baru saja terjadi hanyalah mimpi. Taman dan peri itu hanyalah ilusi. Sedikit rasa pilu terasa menyesakkan di dada di saat aku harus tersadar jika semua keinginan dan keindahan tidak selamanya bisa terwujudkan. Termasuk kehilangan, tak ada seorang pun yang akan tau kapan kita akan merasakan hal yang paling menyakitkan itu. Termasuk aku.

Namun kekecewaan yang tadinya menyisakan irisan kecil dalam kalbu setidaknya kini sedikit terobati dengan segelintir kebahagiaan sederhana di depan mata. Malam ini, tepat ku lihat jam dinding menunjukkan pukul 12 dini hari beserta berkumpulnya orang-orang yang sangat aku sayangi di sekelilingku sedang mengingatkan bahwa usiaku kini sudah bertambah menjadi 21 tahun.

Dengan mata berkaca-kaca aku tersenyum simpul sembari memandang mereka, dan untuk peri yang sudah hilang bersama ilusiku kini sudah berganti menjadi sosok bidadari tak bersayap di dunia nyata. Ya, sosok bidadari tercantik yang melahirkanku ke dunia. Sosok yang menjadikan aku jiplakan akan dirinya. Ya, wajahku 90% mirip dengannya. Terima kasih ibu, berkat kecantikan parasmu beberapa orang di luar sana banyak yang memujiku "Cantik" meski tidak secantik dirimu. 😁

"Selamat ulang tahun, sayang." ucap ibuku seraya mengecup lembut keningku sambil memegangi kue ulang tahun di tangannya. Lilinnya bahkan belum sempat ku tiup.

"Terima kasih, mama." jawabku seraya memasang senyum lebar memandangnya.

"Panjatkan doa dan tiup lilinnya." ucapnya lagi.

Aku mengangguk pelan, ku tutup kedua mataku perlahan lalu ku panjatkan doa terbaik yang ingin ku minta pada sang pencipta.

"Permintaanku gak muluk-muluk Tuhan. Aku hanya berharap tiap tahun di pertambahan usiaku akan selalu ada mereka bersamaku. Lengkap tanpa berkurang satupun. Amin." bisikku dalam hati.

Perlahan kembali ku buka mata dan meniup lilin kecil di hadapanku hingga padam dan kembali menatap keluargaku dengan senyum sumringah. "Terima kasih, semuanya. Leah sayang kalian. Terima kasih, mama." ucapku riang lalu ku benamkan wajahku di dada ibuku sambil memeluknya erat.

"Sama-sama sayang. Selamat ulang tahun ya, semoga sehat selalu dan panjang umur. Semoga keberkahan terus menyertai hidupmu." ucap ayahku seraya duduk di sampingku lalu mengecup puncak kepalaku.

"Amin ya rabbal alamin. Terima kasih, papa. Doa yang sama untuk papa."

"Happy birthday ya, dek. Moga panjang umur dan nggak ngambekan terus." ucap kakak pertamaku sambil mencubit lembut pipiku dan ucapan yang sama terus terucap oleh kakakku beserta ipar-iparku yang berada bersamaku kini.

Sungguh, aku tidak tau hal apa lagi yang lebih indah dari kebersamaan seperti ini. Penuh syukur tak hentinya aku ucapkan atas momen bahagia ini. Belum sampai di puncak bahagiaku, ibu kembali memberikan kejutan manis yang tak pernah aku bayangkan.

"Leah, mama punya kado kecil untukmu."

"Kado? Leah udah segede gini masih di beri kado sama mama?"

"Segede apapun kamu, kamu tetap akan jadi putri kecil kami sayang."

Dengan penuh perasaan haru aku kembali mendekap tubuh ibuku lalu ku beri kecupan hangat di pipinya, segumpal cairan kristal mulai menggenang di pelupuk mataku. Apakah hidupku memang sesempurna ini Tuhan? Oh, terima kasih.

Kulihat tangan ibuku kini mengeluarkan kotak kecil terikat pita dari dalam saku dasternya lalu menyodorkannya padaku. Penuh bahagia aku menerimanya lalu ku buka perlahan kotak cantik berwarna merah muda itu dan mataku seketika membulat dan bersinar ketika ku dapati sepasang anting emas berpermata dari dalam sana. Kado mahal untukku yang buka anak kecil lagi. Bukan, bukan mahal dari harganya. Tapi ternilai sangat mahal bagiku karena di berikan oleh orang yang sangat aku cintai dalan hidupku di saat aku kini tengah beranjak dewasa.

"Te-terima kasih, mama." ucapku terbata-bata lalu kembali kupeluk erat tubuh ibuku dengan penuh uraian air mata yang kini tak mampu ku bendung lagi.

(Bersambung)

Kapan Kita Kemana? Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang