Part 1
"Hubungan kita sampai di jembatan ini saja, ya. Aku bosan mulu sama kamu." Kamu merajuk lagi. Kalau lagi merajuk kamu bakal membelakangi aku. Memandang sungai Batang Arau yang kuning emas. Membiarkan aku sendiri menunggu jagung bakar Thailand. Lagi dan lagi. Memang seenak perutmu saja.
"Oke. Setuju. Jangan nyesel." Aku menyambar kelingkingmu, melilitkan di kelingkingku. Kapal-kapal kecil penangkap ikan merapat di dermaga. Jauh di ujung sana hanya terlihat barisan bukit barisan keemasan.
"Enggak bakalan."
"Bagus kalau begitu." Aku merapat ke pagar pembatas jembatan. Menyambar pinggangmu. Makin ramping dan tinggal tulang. Enak dipandang, enggak enak diraba. Kamu menoleh sejenak. Kemudian lesung pipi itu terbentuk lagi dengan amat baik. Kamu makin merapatkan dua tanganku di pinggang.
"Kok Bagus." Halus benar bunyi suaramu. Manja benar terdengar di telingaku. Tetapi aku sekarang ini benar-benar tidak bakal luluh dengan suaramu. Kita benar-benar putus.
"Kan aku bisa cepat-cepat cari pengganti kamu." Kamu pikir aku bakal mempertahankan hubungan cinta kita seperti jembatan Sitinurbaya ini. Jembatan ini menghubungan antara Kota Tua dengan bukit Gado-gado. Sudah begitu banyak drama cinta yang dihantarkannya ke pelaminan. Tetapi engkau harus tahu juga begitu banyak pula drama cinta yang diantarkan ke pelaminan orang lain.
"Oh begitu ya sekarang." Dua tanganmu mengapit dua tanganku. "Kau enggak bakal menyesal suatu hari nanti." Matamu menggodaku. Jemarimu menggoda daguku. Sekali lagi jemarimu hanya indah untuk dipandang, enggak enak diremas.
"Kan keren."
"Kok keren?"
Kita semacam aktor legendaris saja pada film Titanis. Tanganmu membentang, diikuti dua tanganku. Hanya sebentar saja.
"Aku bisa cuci mata lagi. Masa selama ini aku hanya cuci mata dengan melihat kamu dan kamu lagi. Setiap hari hanya memandang hidungmu yang mancung mulu. Kan aku juga kangen pencet-pencet hidung cewek cantik yang pesek. Meluk dari belakang cewek yang gendut. Pasti empuk. Enggak kayak kamu yang kurus. Meluk kamu hanya terasa tulang. Sakit-sakit tulang dada aku dibuatnya."
Kau berbalik, memukul-mukul dadaku. Tentu saja pukulan rendah beban. Kau menggengam jemariku, setelahnya. Menaikkan alis matamu. Dan tertawa lepas.
"Jadi ini hari terakhir pertemuan kita sebagai sepasang merpati!" Kau menepuk-nepuk pipiku dengan dua tanganmu. Membuat wajahku semacam badut sirkus pasar malam Kuranji. "Oke bodoh. Aku setuju. Lagian aku benar-benar bosan sama kamu."
"Ide yang bagus." Sekarang gantian wajahmu yang jadi badut sirkus oleh dua tanganku yang buruh tulis curhat-curhatan fans kelewat galau.
"Jadi diam-diam selama ini kamu sudah mempunyai otak yang menjijikkan ya. Macam tahi udang bengkok. Macam kepiting laut yang isi perutnya berceceran sehabis kamu injak-injak tempo hari." Matamu melotot. Kalau kamu melotot begitu, otot-otot lehermu menunjukkan diri, menyatakan begitu tidak pedulinya kamu dengan ke krempengan kamu. Menyakitkan ya. Lebih enak kalau kalimat-kalimatku menyesakkan di dadamu.
"Sebelum bersama kamu otakku sudah begitu. Kalau belum begitu, anggap saja sudah begitu."
"Aku enggak nyangka." Kamu membelakangi aku lagi. Menumpukan dua tanganmu di pagar pembatas jembatan. Bayang-bayang kita berjalan pelan di atas air.
"Aku sudah menyangkanya dari lama."
"Jadi selama ini kamu memanfaatkan aku. Ayo ngaku. Kalau enggak ngaku, aku...." Rupanya kamu enggak tersinggung. Aku menggelitikku. Tentu saja aku gelenjotan.
"Aku memainkan peran dengan baik. Jatuh cinta kepadamu adalah pilihanku." Menaikkan hidung dan menggerak alis mata, cara aku menunjukkan sedikit kesombangan di depanmu. Kalau kamu tidak menganggapnya sombong, anggap saja pura-pura sombong.
"Dan hari ini kamu mengiyakan permintaan aku."
"Masa aku harus mengatakan, 'Sayang, hubungan ini bakal terus harmonis. Percaya deh sama aku. Aku bakal terus bersama kamu. Aku bakal tetap menemani kamu seperti hari-hari sebelumnya belanja ke pasar, biar dianggap calon menantu yang peduli sama kebutuhan mertua.'"
"Kamu kan memang calon menantu yang baik." Kau mencolek dagu. Belarian sepanjang pagar pembatas. Awas kamu ya. Kalau aku ketangkap, aku jitak bibirmu dengan bibirku. Biar ini sedang ramai-ramainya, kata siapa aku tidak bakal melakukannya. Tunggu saja.
YOU ARE READING
DARI HATI KE HATI
Fiction généraleApa pun yang saya tulis pada kesempatan ini tidak usah dihiraukan. Baca saja kalau ingin membaca. Tinggalkan saja kalau tidak ingin membacanya. Kalau ingin diberikan kepada pacar silahkan saja berikan. Terserah kamu. Mau kamu bagikan terserah kamu s...