CHAPTER 5

7.3K 301 1
                                    

"Kita laporkan saja dia pada polisi. Pria berengsek itu harus menerima akibatnya!" geram Olivia dengan kedua tangan yang terkepal menahan emosi. Ia duduk di atas lantai yang kini telah tampak bersih setelah Jane membersihkan semua pecahan barang-barang.

Alana belum bersuara. Ia masih duduk diam menyandar pada sudut dinding dengan kedua kaki saling bertekuk. Bibirnya seakan kelu untuk sekedar bicara. Hanya melemparkan pandangan kearah luar jendela.

"Aku yakin dia masih berada di sekitar sini untuk kembali berjudi dan memamerkan uang curiannya pada semua teman-temannya. Dan kupikir kita bisa pergi kesana untuk mencari keberadaannya. Aku tau dimana ia sering_"

"Tidak, Olivia." Sela Alana meski ia masih menatap keluar jendela.

"Tidak?" erangan Alana terdengar.

"Lalu saat ini apa yang akan kita lakukan?!" teriaknya.

Melihat itu, Ana segera menghampiri Alana. Ia duduk menghadap gadis itu hingga akhirnya Alana menoleh padanya.

"Jangan cemaskan aku. Dia sudah tidak berarti lagi bagiku, Alana. Lebih baik pikirkan masalah rumah ini dan Olivia. Kupikir dia benar, satu-satunya cara untuk menghentikannya hanyalah melaporkannya pada polisi." Ujar wanita itu lirih. Alana menggeleng pelan dan berusaha tersenyum.

"Tapi dia masih suamimu, Ana. Aku tidak ingin melakukan itu. Lagi pula, kita tidak tau bagaimana nasib uang itu saat ini. Mungkin saja dia telah menghabiskannya dan usaha kita melaporkannya hanya sia-sia." Alana menggenggam kedua tangan Ana.

"Tapi_"

"Masalah rumah ini biar aku yang tangani."

"Caranya?" sela Olivia. Alana menarik nafas panjang.

"Aku akan kembali pada Marvin." Desahnya.

"Tidak!" pekik Olivia histeris. Ia segera berdiri dan berjalan mendekati Alana. Berdiri penuh amarah di hadapan kakaknya.

"Kau ingin menjual dirimu lagi?! Sudah cukup, Alana. Sudah cukup selama bertahun-tahun ini kau menjual dirimu layaknya seekor binatang. Aku tidak ingin melihatmu seperti itu lagi!" teriaknya dengan air mata yang mulai mengotori wajahnya.

"Tidak ada jalan lain, Olivia. Kita harus menyelamatkan rumah ini dan pendidikanmu."

"Persetan dengan semua itu! Rumah dan pendidikanku tidak begitu penting dari pada kau! Aku hanya butuh kau kembali hidup normal seperti dulu! Bukan kau yang menjadi seorang wanita panggilan!"

"Tapi rumah ini adalah peninggalan Ibu dan Ayah! Tidakkah kau mengerti?" dada Alana tampak bergemuruh menahan emosi yang membuncah.

"Disini semua kenangan kita tentang mereka ada. Disini kita di lahirkan. Menurutmu apa kita harus kehilangan satu-satunya peninggalan Ayah dan Ibu?! Lalu pendidikanmu! Kau tau aku tidak lagi bisa menjalankan hidupku layaknya wanita normal. Lalu apa aku harus melihat adikku melakukan hal yang sama sepertiku?!"

"Aku bisa mencari pekerjaan selain itu, Alana. Pendidikan itu tidaklah begitu penting."

"Tapi Ayah dan Ibu menginginkan kau menjadi seperti itu!" Alana berdiri dari tempatnya dan menatap Olivia penuh amarah.

"Mereka ingin melihat kedua anaknya hidup dengan baik dan terhormat. Aku tidak bisa lagi mewujudkannya. Hanya kau yang tersisa, Olivia. Hanya kau!"

"Jangan kau pikir setelah_"

"CUKUP!" Alana mengangkat kedua tangannya agar Olivia berhenti bersuara.

"Aku lelah dan tidak ingin berdebat. Aku akan keluar dan mungkin tidak akan kembali malam ini." Ia mengambil tas tangannya dan segera beranjak dari sana.

***

"Dia tidak bekerja lagi?" Kharel melemparkan tatapan menuntutnya pada Edgar yang mengangguk kecil. Setelah itu rahangnya tampak mengeras seiring sebelah tangannya melonggarkan ikatan dasinya.

"Kenapa?"

"Aku menerima laporan jika kemarin malam adalah malam terakhir kalinya ia bekerja. Dan malam itu ia habiskan denganmu, Tuan." Jelas Edgar dengan suara rendah penuh kontrol.

"Kau sudah mencaritahu siapa gadis itu?" kini Kharel meraih segelas wine yang berada di atas meja bar yang terdapat dalam rumahnya. Menuangkannya kedapan gelas dan meneguknya hingga habis.

"Ya, tapi tidak begitu banyak."

"Apa itu?"

Edgar berdehem pelan.
“Alana Jasslyn, 23 tahun. Tinggal di sebuah apartement kumuh di pinggiran kota. Namun memiliki sebuah rumah sederhana di Manhattan. Disana ada seorang wanita bernama Ana, Bibinya dan juga Olivia Jasslyn, adiknya. Ayah dan Ibunya sudah meninggal beberapa tahan yang lalu” Jelas Edgar singkat. Dahi Kharel mengernyit.

“Itu saja?”

“Ya, Tuan. Seperti yang kukatakan, tidak banyak informasi mengenai gadis itu karena latar belakang sosialnya yang tidak begitu baik. Beberapa kalangan hanya mengenalnya sebagai partner seks yang mengagumkan dan mereka tidak mau bersusah payah mencari tau latar belakang Alana. Jika mereka ingin maka hanya tinggal menghubungi Marvin.”

“Lalu dimana dia saat ini?” sambungnya.

“Ada yang mengatakan jika ia kembali ke Manhattan, namun setelah aku periksa dia tidak ada lagi disana. Beberapa orang mengatakan jika ia telah kembali meninggalkan rumah siang ini.”

Kharel kembali memijat pelan dahinya. Pria itu kembali menginginkan Alana sebagai partner seksnya. Belum pernah selama ini ia menggunakan seorang wanita untuk beberapa kali bercinta. Biasanya ia akan membuang wanita itu begitu saja dan tidak lagi mau memakainya. Tapi kali ini berbeda. Ia sangat menginginkan Alana dalam dekapannya.

“Edgar.” Panggilnya.

“Ya?”

“Cari lebih banyak lagi informasi mengenai Alana. Lakukan apapun untuk mencari wanita itu dan segera bawa kehadapanku.”

“Baik, Tuan.” Kharel mengangguk sekali.

“Kau boleh pergi.” Suruhnya.

Edgar tampak memandang Kharel ragu. Namun tatapan itu dapat di lihat oleh Kharel.

“Kenapa?”

“Maaf, sebelumnya Tuan. Tapi, apa malam ini kau tidak ingin pergi mencari wanita seperti biasanya? Kupikir biasanya tugasku akan selesai setelah itu.” Jawan Edgar penuh sopan. Kharel mendengus dan kembali meneguk wine miliknya.

“Tidak! Alana Jasslyn telah membuatku tidak berselera untuk menatap wanita manapun lagi. Aku hanya menginginkan dia, Edgar. Maka itu kuharap kau bekerja dengan cepat.”

***

TBC!

ALANA ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang