Raka sempat terkesiap begitu melihat berbagai macam hidangan sudah tersaji di atas meja. Semuanya adalah makanan favoritnya. Tapi, sebanyak ini hanya untuk sarapan?
Semenjak beberapa bulan yang lalu —tepatnya seminggu setelah perceraian kedua orang tuanya— ibunya akan menyiapkan sarapan dengan menu makanan favoritnya setiap hari. Namun, tidak pernah sebanyak ini. Pada akhirnya Raka hanya menenggak segelas susu hangat lalu meninggalkan meja makan untuk bersiap berangkat sekolah.
Masih belum menyerah, ibunya kini bangkit dan menyambar kotak makan siang berwarna biru. "Raka, bekal kamu ketinggalan."
"Aku nggak bawa bekal."
"Aktivitas kamu kan padat. Nanti kalau sakit gimana?" tanyanya dengan sorot mata khawatir. "Bawa ya?"
Mulutnya sempat ingin mengucapkan penolakan, namun akhirnya Raka menyerah, "Yaudah."
"Mama antar ya?" sebuah pertanyaan yang tidak memerlukan jawaban karena ibunya kini sudah lebih dahulu berjalan ke arah garasi.
Mesin mobil dinyalakan, di balik kursi kemudi wanita itu tersenyum. Sudah lama sekali sejak dia mengantar anak semata wayangnya. Semenjak Raka sudah bisa membawa kendaraan sendiri, ibu dan anak itu sudah jarang —bahkan tidak pernah lagi— berada dalam satu kendaraan yang sama. Apalagi mengingat sikap Raka selama beberapa bulan belakangan ini terhadapnya.
"Ayo naik, sayang. Nanti telat lho," ujar sang ibu setelah menurunkan kaca mobilnya.
Raka masih mematung sampai akhirnya suara motor terdengar di depan rumah. "Nggak perlu, Ma. Raka bareng temen."
Dari pantulan kaca spion mobilnya, wanita itu bisa melihat kepala seorang anak laki-laki yang melongo mencari-cari keberadaan anaknya. Otomatis tangannya mengatur mesin mobil menjadi dalam keadaan mati lalu menatap anaknya sambil memaksakan senyum, "Oke, hati-hati."
Baru beberapa langkah Raka sudah berbalik. "Besok, Raka harap Mama nggak perlu nyiapin makanan sebanyak itu. Mubadzir. Lagipula, sekeras apapun Mama berusaha, Raka nggak akan pernah setuju."
Setelah bunyi motor tidak lagi terdengar, wanita tersebut menyandarkan dahinya ke roda kemudi. Membiarkan air matanya menetes satu per satu.
m e t a n o i a
"Rak."
"Hah?" Raka menyahut terlalu kencang.
Berpikir sejenak lalu pemuda itu menggelengkan kepalanya, "Nggak jadi."
Tak ada jawaban, bisa jadi penumpang yang kini berada di belakangnya memang tidak mendengar karena angin yang berembus terlalu kencang atau karena sedang memikirkan hal lain. Setelah melihat pantulan si penumpang lewat spionnya, Naufal paham, pasti alasan yang kedua.
Sejak dulu selalu begini, dalam hubungan pertemanan mereka Naufal dan Gibran selalu menjadi orang asing yang tidak tau apa-apa di antara Raka dan Bagas. Kadang dia bertanya-tanya apakah Gibran tau masalah di antara Raka dan Bagas sehingga membuatnya berada di pihak Bagas? Atau Gibran sama saja dengan dirinya? Menjadi orang luar yang tidak mengetahui apapun? Tapi, sepengetahuannya Raka selalu memiliki pemikiran lebih dewasa di antara mereka berempat, apakah dirinya sekarang berada di pihak yang benar?
Motor Naufal sudah memasuki area sekolah. Setelah menurunkan Raka di parkiran guru dekat lapangan basket, Naufal diam-diam memarkirkan motornya di parkiran kelas 12. Jarak parkiran ke kelasnya lebih dekat di sini dibanding parkiran kelas 11 yang berada di dekat gedung kedua. Dia hanya berharap semoga satpam yang bertugas tidak mengetahuinya.
"Aku ke kelas duluan ya," ucap murid perempuan di sebelah motornya. "Dahh, semangat belajarnya!"
Murid perempuan kelas 12 itu melambaikan tangannya ke arah laki-laki yang kelihatannya adalah murid kelas 11. Laki-laki itu tersenyum sampai Naufal kira kedua matanya sedang terpejam. Tapi, begitu laki-laki itu menyadari keberadaan Naufal, senyum di wajahnya seketika lenyap.
KAMU SEDANG MEMBACA
METANOIA [ON HOLD]
Novela JuvenilBerawal dari sebuah gelang, Karina Imelda tertarik mendekati Bagas Keano Madhava, siswa yang terkenal sering membuat onar di sekolahnya. Anehnya Bagas sangat tidak menyukai Karina, bahkan sampai enggan menyebut namanya. Perlahan Karina mengetahui ap...