2 : Muse

343 75 14
                                    

Sejak sampai di rumah Bagas masih setia berada di kamarnya, mengurung diri dari dunia luar. Kondisi kamarnya dibiarkan gelap tanpa cahaya sama dengan keadaan di luar di mana sang mentari kini juga telah terbenam sempurna di ufuk barat. Di sudut kamar dia memeluk kedua lutut, pundaknya bergetar karena menangis. Dia menyentuh pergelangan tangannya hanya untuk menemukan bahwa gelang pemberian ibunya kini tidak ada karena ulah gadis aneh itu.

"Sial," ia merutuk kesal.

"Den Bagas?" panggil Mbok Nari —asisten rumah tangga keluarganya— diiringi ketukan pelan di pintu membuat Bagas sedikit mengangkat kepalanya.

"Makan malam sudah siap di meja makan ya, Den," ucap si Mbok lagi.

Hening cukup lama sampai Bagas yakin Mbok Nari sudah meninggalkan depan pintu kamarnya. Dia berjalan gontai ke arah wastafel untuk sekedar membasahi wajah baru kemudian menyantap makan malamnya di meja makan yang sepi.

Ia sengaja tidak langsung membukakan pintu karena jika Mbok Nari melihatnya dalam keadaan seperti ini lagi bisa-bisa ia akan dapat nasehat panjang perihal ibunya yang katanya akan sedih jika melihat anaknya menangis. Namun, Bagas sangsi ibunya akan bersikap begitu karena mengingat beberapa bulan lalu saat ia datang menjenguk, Bunda lupa siapa Bagas. Alih-alih mengingatnya sebagai anak semata wayangnya, beliau malah mengira Bagas adalah seorang asing yang datang berkunjung.

Baru suapan ketiga ketika suara ayahnya terdengar memasuki ruangan bersama seorang wanita. "Nah kebetulan ada Bagas. Ayo, kita makan malam bareng."

"Malam sayang. Ini tante bawain brownies cokelat buat kamu. Katanya, ini kesukaan kamu, ya?"

Bagas terus makan tanpa menghiraukan, melirik pun tidak.

"Bagas," panggil ayahnya.

"Cuma suka buatan Bunda," jawabnya ketus.

Wanita itu melirik laki-laki disampingnya lalu menunduk. "Kalau diberi sesuatu itu bilang makasih. Punya sopan santun kan?" tegur ayahnya.

Memangnya siapa yang butuh sopan santun? Wanita yang kini ada di hadapannya saja tidak memilikinya. Seenaknya masuk dan merusak kehidupan mereka.

Bagas meletakkan sendoknya, "Aku udah selesai." Dia beranjak dari kursi setelah meneguk habis air dari gelasnya.

"Bagas! Mau kemana kamu?" tanya ayahnya saat langkah Bagas sudah mencapai ruang keluarga.

"Kemana aja asal nggak di sini," ucapnya sambil menyambar jaket dan kunci motor yang digantung di dinding.

"Kurang ajar! Siapa yang ngajarin kamu nggak sopan kayak gini? Seenggaknya sapa dulu tamu kita!" bentak ayahnya.

Bagas berhenti lalu menatap ayahnya dan wanita itu bergantian. Ia menyeringai, "Selamat malam Tante, semoga bahagia setelah menghancurkan hidup saya."

"Bagas!" laki-laki itu berseru. "Kembali ke sini!"

Pintu itu dibanting dengan keras, mengakhiri perdebatan ayah dan anak tersebut. Laki-laki itu mengusap wajahnya frustasi.

"Nggak apa-apa, Mas. Mungkin Bagas belum bisa nerima aku," wanita itu mengusap pundaknya pelan, mencoba menenangkan.

m e t a n o i a

Jika saja dia tidak teringat dengan wajah galak serta ancaman menyebalkan milik Bagas petang tadi, sudah dipastikan Karina telah bergelung dalam selimut di atas kasur empuk nan nyaman miliknya. Tapi, sudah setengah jam mencari dan dia masih tidak bisa menemukan gelang itu. Dari mulai saku seragamnya tadi siang, tas sekolah, sampai sudut kamarnya, gelang itu masih belum menampakkan diri. Saat ini Karina sungguh berharap dirinya adalah salah satu murid pintar di sekolah sihir Hogwarts, ah tidak perlu sepintar Hermione Granger asalkan dia bisa merapal mantra accio dengan baik pasti gelang milik Bagas akan muncul di tangannya entah dari mana.

METANOIA [ON HOLD]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang