Dory

1K 72 24
                                    

Banyak hati di bumi menanti untuk pulih. Aku juga. Untungnya, ada hati lain yang sengaja hadir dengan satu tujuan. Memperbaiki yang terlanjur patah. Semata-mata supaya pulih lebih cepat. Kayak sihir.

Aku menatap bintang yang ada di langit sambil menikmati angin malam. "Kalau kita nggak pernah ketemu, aku pasti nggak akan main game online lagi."

Hanya ada suara angin. Ben membiarkanku melanjutkan cerita.

"Kalau kita nggak pernah ketemu, aku pasti benci kalau Faldo main game online," lanjutku. 

"Kalau kita nggak pernah ketemu, aku pasti cari kamu, nanti... ada saatnya," dia meniru rangkaian kata yang kubuat.

Kalimat Ben memaksaku untuk mengalihkan pandanganku. Menoleh dan memandangi wajahnya.

"Kalau sekarang kita belum ketemu, aku akan cari kamu," dia mengulang kalimatnya sambil menoleh ke arahku. "Aku nggak akan sampai hati liat kamu berjuang sendirian."

Ben dan aku saling beradu tatap. Pertanyaan kemarin malam akhirnya terjawab sudah.

"Mulai sekarang, kamu nggak akan berjuang sendirian, kan?" ucapannya penuh percaya diri, tapi hangat.

Kata-katanya bikin aku nyengir. Pandanganku kembali ke langit. Sesekali aku menatap air di kolam renang yang terlalu tenang. Tanpa gelombang.

"Terlalu banyak yang terjadi dalam dua hari"

"Indeed," ucapnya.

"Kenapa sekarang?"

"Apa?"

"Bilang kalimat barusan, di depan orang tuaku," kuharap dia paham maksudku. Rasanya malu kalau harus jelasin lebih detail.

"Aku serius sama kamu"

"Iya aku percaya," sebetulnya Ben udah pernah bilang kalau dia serius. Tapi sebelum ketemu Ben, aku sering tenggelam dalam asumsiku sendiri kalau dia seperti sedang menyembunyikan sesuatu. Bukan curigaan, tapi aku yakin siapapun pasti punya feeling kalau orang yang disayang sedang menutup-nutupi sesuatu. Sebagian akan berusaha menebak sendiri jawabannya. Bukan dicari, tapi ditebak. Padahal nggak semua harus langsung ada jawabannya. Beberapa butuh waktu. "Banyak pasangan diluar sana yang hubungannya udah cukup serius, tapi belum punya nyali untuk ketemu orang tua pasangannya. Sebagian nunggu waktu yang tepat. Menurut kamu, hari ini waktu yang tepat buat ngomong sama orang tuaku?" Aku penasaran dengan isi pikirannya. Kalau aku jadi dia, pasti langsung mengurungkan niat. Suasananya lagi panas.

"Kenapa harus cari waktu yang tepat, sementara waktu nggak nunggu siapapun?"

Kalimat itu sempet bikin napasku terhenti sesaat.

"Waktu yang tepat itu dibuat. Bukan dicari. Bukan ditunggu." Ben menatapku. Sorot matanya dalam.

Nggak heran Ben sukses diumur segini. Rasanya aku juga jatuh hati dengan perspektifnya. Dengan cara pandangnya terhadap sesuatu. Ucapannya selalu berhasil bikin aku berhenti melangkah dan mikir 'oh iya juga'. Beberapa kalimatnya keluar di momen yang tepat. Ketika aku sudah tau teori untuk pemecahan suatu masalah, harusnya begini, harusnya begitu, sulit mengingat semua teori itu kalau rintangannya beneran menghadang di kehidupan nyata. Tiba-tiba mendadak lupa baiknya harus apa karena terbawa emosi. Tapi, Ben selalu berhasil jadi pengingat. Nggak heran hatiku jatuh padanya.

"Tadi jantung kamu mau copot ya pas bilang kalimat itu di depan orang tuaku?" Ledekku.

"Nggak mungkin," ucapnya santai.

Aku tertawa kecil. Tadi kentara sekali kalau dia gugup setengah mati. Ben berusaha menyembunyikan semua dan berusaha tenang. Mungkin supaya terlihat sebagai sosok orang yang bisa dipercaya di mata ayah dan ibu. Sosok pria tepat yang bisa jadi pendamping dan melindungiku kelak. Tapi, dia barusan menyangkal kalau gugup? Bukan masalah.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Oct 21, 2018 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Distorsi [HOLD]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang