Sebuah Kisah

777 66 33
                                    

Ben menatapku. "Penjelasannya akan panjang, Cha"

Tatapan Ben jujur aja bikin palpitasi. Aku berusaha setenang mungkin dan tetap berada diposisiku. Nggak mengeluarkan ekspresi apapun. Menanti cerita Ben. Bukan karena pengen keliatan cool. Tapi, karena Ben nggak boleh tau kalau aku lagi deg-degan setengah mati kalau ditatap kayak gitu. Cuma Ben yang berhasil bikin aku kayak gini.

Sedetik kemudian ada dua pramusaji yang mengantar appetizer. Ben sudah menyiapkan semuanya. Bahkan dia nggak menawarkan menu padaku. Nggak masalah. Tatapanku sesekali beralih ke makanan yang disimpan oleh pramusaji di atas meja.

"Makan dulu Cha, kamu butuh energi banyak sebelum denger semuanya," intonasi Ben tetap tenang. Sama sekali nggak terdengar perasaan bersalah dari suaranya.

Makanannya keliatan enak, tapi ada hal lebih penting yang harus kulakukan ketimbang makan. "Ben, aku mau meluruskan tujuanku kesini sebelum kamu mulai cerita. Aku nggak mau kalau sampai ada mispersepsi," awalnya aku nggak mau bilang begini. Takutnya kalimat yang aku lontarkan justru akan bikin Ben punya ide untuk ngarang cerita dan menutupi kebohongannya. Tapi, aku percaya sama statement Kevin. Biasanya Kevin nggak meleset kalau nilai orang. Jadi, kalau menurut Kevin, Ben adalah orang yang jujur, pasti 90% betul. Perkara kenapa Ben bohong, itu yang perlu dikulik lebih lanjut. Pasti ada alasannya. Itulah kenapa aku memutuskan Ben perlu tau isi pikiranku sebelum dia mulai cerita.

Ben meletakan garpu dan pisau yang baru saja dia pegang. Memilih mengabaikan steik yang melambai-lambai dihadapannya. Tatapannya kembali ke arahku.

Aku menatap ke arah bawah dan menghela napasku setenang mungkin. Berusaha menghilangkan rasa grogi yang selalu timbul kalau lagi di tatap Ben. Butuh waktu lama supaya grogi ini hilang seratus persen. Supaya efisien, aku akan tetap mengatakan apa yang harus aku katakan, sembari berusaha menghilangkan grogiku. Pokoknya selama Ben nggak sadar kalau aku gugup, semua aman terkendali.

"Ben, aku dateng kesini cuma untuk cari tau jawaban dari teka-teki yang nggak bisa selesai di kepalaku. Kenapa kamu waktu itu sempet super intens chat-chat-an sama aku, tapi nggak lama kemudian tiba-tiba ilang gitu aja ditelan bumi. Jadi, aku dateng bukan dengan tujuan ngemis supaya kamu balik lagi sama aku kayak dulu. Aku cukup dewasa untuk memahami kalau kamu punya hak untuk memilih menghabiskan waktu kamu dengan siapa. Kalau kamu merasa aku bukan orang yang tepat, bukan the one yang kamu cari, it's totally okay for me. Tapi, aku juga berhak untuk tau alesannya, Ben. Kalau kamu memilih untuk pergi tanpa pamit, itu cuma akan menjatuhkan kredibilitas kamu di mataku. Itu cuma akan menunjukan kalau kamu orang egois yang nggak bertanggung jawab." Aku sama sekali nggak menyesal dengan rangkaian kalimat yang baru keluar dari mulutku.

Tatapan Ben terus tertuju kepadaku. "Cha..." Ben menutup matanya tiga detik, "Semua kejadian ini..." Ben diam tiga detik, "...kejadian diantara kita, terlanjur jadi kompleks..." Ben kembali diam beberapa detik, "dan itu..." Ben diam lagi sebelum melanjutkan kata berikutnya, "...murni kesalahan aku"

Jeda yang terlalu banyak bikin aku berasumsi kalau Ben cukup berat mengakui kesalahan dia sendiri. Untungnya dia nggak kemakan gengsi sehingga berani jujur.

"Aku nggak akan mengulur waktu, Cha. Aku akan jelasin ke kamu, semuanya. Kamu memang berhak tau, Cha."

Alunan lagu klasik yang sedang diputar bikin suasana jadi makin sendu.

"Cha, kamu inget kali pertama kita saling kenal di group Line?"

Aku mengangguk.

"Waktu itu kamu nggak mau ngasih tau wajah kamu sendiri, kan? Kamu pake masker di foto. Mungkin kamu punya pikiran yang sama. Kamu takut kenal orang asing lewat game. Aku juga gitu. Tapi lebih parah, sampe bikin akun Line baru khusus buat game dan pake foto orang lain. Tau nggak aku pake foto siapa?"

Distorsi [HOLD]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang