A Day with Ben

596 68 20
                                    

Dalam waktu sedetik aku harus mikir keras. Di satu sisi, aku masih mau usaha sekeras mungkin supaya nggak pulang bareng Ben. Di sisi lain, justru sebaliknya.

"Cha, aku akan bikin kamu percaya lagi," ucap Ben penuh percaya diri. Melontarkan kalimat lain karena aku sama sekali nggak bereaksi dengan pernyataan sebelum ini.

Aku menatapnya. Kalau dipikir pakai logika, harusnya aku nggak perlu peduli. Siapa yang nggak kecewa kalau tau dia yang selama ini ada dalam doa ternyata menyembunyikan fakta? Sekali pun alasannya baik, tapi tetap saja harusnya Ben nggak sampai hati melakukan semua hal sebelum ini. Dan harusnya aku langsung meninggalkan Ben setelah rahasia gelapnya terungkap. Tapi, setiap dia menatapku... rasanya aneh. Perasaanku padanya sama sekali nggak berubah. Akhirnya aku paham kalau cinta, memang nggak pernah masuk akal.

Sisa-sisa harga diriku masih ada. Sekalipun aku pulang sama Ben, sekali pun jantungku berdebar karena kehadirannya, aku... harus pura-pura nggak peduli.

"Yuk" Ben jalan ke arah lift.

"Mau kemana?" ucapku setelah berhasil mengejar Ben. Jalannya cepet juga.

"Ke atas"

"Ngapain?" dahiku mengerut.

"Nemenin kamu packing," Ben langsung masuk tepat sepersekian detik setelah pintu lift terbuka.

Dengan cepat aku ikut masuk ke dalem lift dan tanpa pikir panjang mendorong punggung Ben supaya keluar lift. "Apaan sih? Aku bisa sendiri"

Tubuh Ben nggak bergeming. Tenaganya kelewat kuat.

"Oke aku tunggu di lobi ya Cha"

Rasanya lega waktu Ben keluar dan pintu lift langsung tertutup. Mendadak aku menyadari kebodohanku. Duh, Cha, ngapain dorong-dorong Ben sih? Pasti karena terlalu panik.

Sesampainya di kamar, aku langsung ambil barang-barang yang memang sudah di packing sebelum sarapan. Nggak butuh waktu lama untuk kembali ke lobi, check-out, dan menemukan sosok Ben. Aku berdiri di sebelahnya. Sengaja nggak manggil. Biarin aja kayak gini sampai Ben menyadari kehadiranku dengan sendirinya. Aroma parfumnya bisa tercium olehku. Aku menatapnya. Menatap orang yang selama ini berhasil membuatku kehilangan akal sehat. Satu-satunya orang yang bikin pikiranku jadi tumpul. Tapi, dia juga yang bisa bikin dunia ini jadi beda. Langit rasanya jadi lebih biru. Matahari rasanya lebih hangat. Malam rasanya lebih tenang. Dan... hari-hariku sebelum ini, dihiasi dengan rindu sekaligus rasa penasaran. Membayangkan seperti apa rasanya kalau nanti ketemu sama Ben. Terlanjur menumbuhkan ekspektasi yang akhirnya terpatahkan oleh realita.

"Yuk," Ben langsung berdiri dan mengambil tas ranselku yang isinya baju kotor.

Harusnya aku berusaha nahan supaya Ben nggak bawain tasku, tapi aku masih setengah gelagapan karena respon Ben. Jangan-jangan dia sadar kalau dari tadi aku menatapnya?

"Bayangan kamu ada di kaca, Cha," Ben berusaha menyembunyikan tawanya.

Pandanganku beralih ke arah kaca yang ditunjuk Ben. Cha... kenapa sih tadi harus menatap Ben diam-diam?  Malu banget!

Aku mengikuti langkah Ben. Hari ini outfit-nya formal. Sama kayak kemarin. Atasannya jas warna abu-abu, celananya juga. Entah kenapa kombinasi itu bikin Ben tambah keren. Ya peduli amat deh Ben mau keren atau nggak.

"Silahkan masuk Cha," Ben tersenyum sambil membukakan pintu untukku. Dia nggak pake mobil Alphard yang kemarin. Tapi, pake mobil BMW hitam mengkilap keluaran terbaru.

Mataku melirik ke kanan dan kiri beberapa kali. Menimbang-nimbang harus naik mobil Ben atau nggak.

"Cha?" Ben tersenyum padaku. Plis! Aku sama sekali belum terbiasa dengan senyuman Ben. Akhirnya aku memilih masuk ke mobil karena ngga kuat liat Ben yang terus-terusan melempar senyum padaku. Ben masuk ke kursi depan di sebelahku.

Distorsi [HOLD]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang