Hujan

40 4 2
                                    

🎵Now, you've been talking in your sleep

Oh, oh, things you never say to me

Oh, oh, tell me that you've had enough

Of our love, our love

Just give me a reason

Just a little bit's enough

Just a second, we're not broken

Just bent

We can learn to love again🎵

(Just Give Me A Reason - Pink feat. Nate Ruess)

Berkali-kali kuputar lagu itu di handphone untuk menemani perasaanku yang sedang hancur malam ini. Kata-kata itu masih terngiang di telingaku. Kata-kata perpisahan yang diucapkannya lima jam yang lalu di caffe. Detik-detik kalimat terkutuk itu meluncur tajam dari bibirnya yang tipis. Semuanya masih tergambar jelas di benakku

Mendengarnya, bagaikan di sambar petir. Oh, bukan, tapi bagai tertimpa pesawat. Hancur, berkeping-keping.

Air mataku tidak bisa berhenti mengalir padahal kantuk sudah mulai menyerang. Aku memutar badan melirik jam dinding, sudah jam dua pagi. Entah aku akan bisa tidur malam ini atau tidak.

Aku berbaring di tempat tidur sambil menatap langit-langit kamar. Masih berharap semua ini hanya mimpi. Aku tahu, Mama dan Papa pasti cemas ketika tadi melihat aku pulang dengan mata yang sembab dan maskara yang belepotan. Tapi, bibirku tidak mampu menjawab pertanyaan mereka. Aku langsung menuju kamarku yang hangat dan mengunci diri di dalam. Sampai sekarang.

Aku mencoba beranjak dari tempat tidurku. Berdiri menghadap cermin. Aku tidak jelek. Aku tidak terlalu kurus. Hanya, terkadang suka acak-acakan. Tapi, itu tidak buruk.

Percaya lah, ketika kamu diputusin begitu saja tanpa alasan yang jelas, itu akan membuatmu merasa menjadi cewek paling jelek di dunia. Apalagi, kamu tidak tahu salahmu apa. Terlebih lagi, kamu sedang sayang-sayangnya dengan dia. Itu akan sangat membunuhmu.

Lintang memang bukan cowok yang sering mengungkapkan rasa sayangnya padaku. Tapi, aku tau dia menyayangiku, itu bisa terlihat dari matanya yang sendu dan hangat. Aku senang ketika dia selalu membuatku badmood dengan teka-tekinya. Tapi, teka-tekinya kali ini membuatku muak.

Aku jadi ingat pertama kali kita bertemu.

-Flashback-

Aku dan Lintang tidak bertemu saat terlambat sekolah dan gerbang sudah dikunci. Atau bertemu saat tabrakan di ruang perpustakaan. Bukan, bukan seperti itu. Pertemuan kami bukan hal yang mengesankan, yaitu saat di lapangan basket. Yups! Ketika bola basket tiba-tiba menghantam kepalaku dan aku jatuh pingsan.

Sebagai pelaku pelempar bola, Lintang saat itu cukup bertanggung jawab atas perbuatannya. Dia menggendongku ke klinik sekolah. Dan, dia yang menungguku sampai aku sadar. Setidaknya, itu yang ku dengar dari Nindy dan Agnes, dua sahabatku. Pantas saja aku agak heran ketika ada cowok yang duduk di sampingku saat aku membuka mata.

"Maaf, ya?" ujar Lintang padaku.

"Lo siapa?" tanyaku sambil memijit-mijit dahi. Kepalaku masih terasa sangat pusing.

"Oh, My God, Meghan amnesia!" teriak Nindy dengan kencang. Sontak semua orang yang ada di sana melihat ke arah kami.

"Eh, ng-nggak! Dia emang belum kenal gue, kan?" Lintang melirik ke arahku, berusaha agar tidak di salahkan.

Aku menggeleng pelan.

"Tuh kan!" ujar Lintang merasa menang.

"Megg, ini Lintang. Dia anak basket. Dan, dia orang yang udah ngelempar lo pake bola basket. Right?" tutur Agnes sambil melipat kedua tangannya di dada.

Happy Birthday, Love! (On Going)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang