Angin

21 3 0
                                    

Aku segera memesan taksi begitu diizinkan pulang di jam pelajaran ketiga dengan alasan sakit. Kukira aku bisa bertahan sampai jam sekolah selesai, tapi ternyata tidak. Mataku tidak bisa berhenti menangis sampai-sampai tadi sewaktu meminta izin pulang kepada Pak Jono pun aku sambil terisak. Tanpa bertanya banyak, guru complicated itu mengizinkanku. Sebuah keajaiban, kan? Biasanya, jangankan meminta izin pulang, izin ke toilet saja kadang dia tidak memberikannya.

Aku duduk di kursi penumpang ketika taksi sudah datang. Sopir taksi langsung menginjak gas dengan perlahan begitu aku menyebutkan alamat rumahku. Sejenak tubuhku terasa sejuk dibelai AC mobil. Aku menyandarkan kepalaku di jok. Ponselku tidak berhenti bergetar, aku bisa merasakannya di saku rokku. Aku memang selalu menyeting mode silent di ponselku selama di sekolah agar tidak mengganggu konsentrasi belajarku. Aku merogoh ponsel dari saku, lalu melihat notifikasi di layar depan. Agnes dan Nindy berkali-kali menelepon dan mengirim pesan, juga ada satu pesan dari Mama. Aku segera membuka pesannya.

Mama : Megg, Mama mau pergi arisan. Makanan sudah Mama siapkan di meja makan. Jangan lupa di makan, kayaknya Mama pulang malam. With love.

Aku segera membalasnya.

Aku : Oke, hati-hati Ma.

Aku berpikir sejenak, sepertinya tidak perlu bilang sama Mama kalau aku izin pulang cepat. Nanti Mama khawatir, mengira aku benar-benar sakit. Biarkan saja. Aku kembali menyandarkan kepalaku dan memasukan kembali ponselku ke dalam saku. Aku belum mau membuka pesan dari Agnes dan Nindy. Bukan, bukannya aku marah pada mereka, tapi aku belum mau menjelaskan apa pun kepada mereka.

Aku beruntung mempunyai sahabat-sahabat yang sangat perduli padaku seperti Agnes dan Nindy . Tapi, terkadang aku sedang ingin menghadapi masalahku sendirian.

Aku menghadap jendela mobil dan menatap pemandangan di sepanjang jalan. Jarak dari sekolah ke rumahku cuma tiga puluh menit kalau naik motor dan empat puluh lima menit kalau naik mobil. Menyusuri jalan layang. Jalurnya tidak macet, tapi kadang tersendat di depan Mall sebelum rumahku, karena banyak kendaraan yang keluar masuk. Nah! Benar kan! Taksiku berhenti tepat di depan Mall itu. Siapa, sih, yang membangun Mall di dekat jalan layang seperti ini? Jelas membuat lalu lintas terhambat, kan! Dengan sabar, sopir taksi menunggu sampai kendaraan yang keluar masuk itu selesai.

Tak lama kemudian taksi melaju perlahan. Sebentar lagi sampai. Aku merogoh dompet di tasku untuk membayar ongkos dan mengambil kunci rumah. Perjalanan tinggal lima menit lagi, dan sampai! Aku turun dari taksi setelah membayar ongkos kepada sopir, lalu berjalan masuk ke rumah.

Aku menutup kembali pintu rumah dan segera naik ke lantai dua, ke kamarku. Rumahku sepi kalau tidak ada Mama, maklum kami tidak mempunyai asisten rumah tangga. Mama memilih resign dari pekerjaannya dan menjadi ibu rumah tangga ketika aku lahir. Dia ingin membesarkanku dan mengurus rumah dengan tangannya sendiri tanpa asisten atau pun babysitter. Dan, istri seperti itu lah yang diidamkan Papa.

Mama dan Papa adalah pasangan Romeo dan Juliet yang nyata. Mereka tidak hanya saling mencintai, tapi juga saling menjaga, saling memberi, saling menerima dan saling perduli, seharusnya seperti itu lah cinta. Cinta bukan hanya berharap apa yang bisa kita dapat, tapi juga apa yang bisa kita beri kepada pasangan kita. Yang terbaik dalam diri kita. Dan, yang paling penting cinta tidak pernah pergi tanpa alasan. Huft.

Aku membuka pintu kamar dan langsung merebahkan diriku di tempat tidur setibanya aku di rumah. Otakku masih teringat kejadian di kantin sekolah tadi. Itu memang memalukan. Aku agak menyesal karena tidak bisa mengendalikan diriku sendiri, tapi aku benar-benar merasa tersudut.

Aku masih memikirkan apa kah Lintang dan teman-temannya mendengar perkataanku tadi? Kalau iya, semoga mereka tetap bersikap biasa saja.

Aku menutup wajahku dengan bantal. Mataku sangat ngantuk, tapi aku tidak bisa tidur. Sejuta pertanyaan menumpuk di otakku, salah satunya adalah kenapa Lintang bisa begitu santai dengan apa yang telah dia lakukan padaku? Sedangkan, aku benar-benar tidak berdaya. Aku mulai berpikir, jangan-jangan selama ini perasaannya tidak tulus padaku? Apa selama ini perasaanku bertepuk sebelah tangan? Tidak, itu tidak mungkin. Matanya yang sendu tidak bisa menyembunyikan perasaannya bahwa dia juga tulus padaku.

Happy Birthday, Love! (On Going)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang