Embun

16 6 2
                                    

"Meghan Allencia Belva, apa yang dikatakan Shakespare tentang ketepatan waktu?" tanya Bu Olive, guru sastra-ku, dari celah pintu. Tangannya hampir saja menutup pintu kelas rapat-rapat.

"Lebih baik datang tiga jam lebih awal, dari pada terlambat satu menit," jawabku sambil menahan pintu dengan tangan agar tidak ditutup olehnya. Dadaku terasa sesak sehabis lari-larian dari pintu gerbang sekolah sampai kelas, mengejar waktu berharap Bu Olive belum datang. Hari ini, Sastra adalah pelajaran pertama. Aku lupa, guru itu tidak pernah terlambat. Dan, dia tidak akan memberi ampun kepada murid yang datang terlambat.

"Lantas?"

"Tanganku tepat waktu di pintu," ujarku dengan nafas masih terengah-engah.

Bu Olive memandang tanganku sejenak, lalu membuka pintu kelas. Aku menghela nafas lega, lalu mengucapkan terima kasih padanya. Aku berjalan gontai ke tempat dudukku sambil mengedarkan pandangan ke seisi kelas. Kulihat Agnes dan Nindy tersenyum padaku. Aku membalas senyuman mereka.

Tadi malam aku memang tidur agak larut karena keasikan menonton film korea. Bukan, aku bukan K-Pop-ers, hanya saja....yah, salah satu terapi mengobati patah hati dengan memandang si tampan Lee Min Ho. Hatiku sedikit terhibur dengan menonton film Boys Before Flower yang bergenre romance dan sedikit comedy. Walau pun, aku tahu itu film sudah lama sekali. Tapi, aku jadi menyukainya dan berencana menonton episode tujuh nanti malam setelah belajar.

Aku membuka buku sastra-ku. Aku suka sekali pelajaran ini, tapi tidak menyukai Bu Olive yang sok tegas. Menurutku, tidak fair, kalau harus menghukum murid tidak boleh masuk pelajarannya hanya karena ia terlambat masuk ke kelas beberapa menit. Bayangkan, berapa kerugian yang harus ditanggung oleh si murid dan orang tuanya? Dalam satu menit di sekolah itu sangat berharga untuk kita. Satu menit yang kita lewatkan di sekolah tanpa belajar apa-apa itu sama artinya kita meminjam satu menit dari masa depan kita. Hitung saja, kalau kita tidak boleh masuk pelajaran sastra yang durasinya 3 jam dalam seminggu, berapa banyak waktu yang akan kita pinjam dari masa depan kita nanti? Bisa-bisa di masa depan kita kehabisan waktu dan keburu mati sebelum bisa mencapai cita-cita. Apa lagi, jika sudah kelas tiga sepertiku. Tidak masuk sekolah sehari saja rasanya rugi sekali, takut kalau bekal kurang ketika menghadapi ujian nanti.

Anak-anak memerhatikan Bu Olive dengan serius. Sebagian ada yang menguap karena ngantuk.

Aku mengalihkan pandanganku ke kaca jendela kelas. Sekelebat terlihat dua orang murid laki-laki berjalan di luar sambil mengobrol. Satu laki-laki berambut merah, dan satunya lagi biasa saja. Aku menatap cowok berambut merah 'siapa dia? bukannya di sekolah ini tidak boleh memakai cat rambut?' gumamku dalam hati. Aku memicingkan mata lalu mengerjap ketika melihat sosok laki-laki itu. Lintang. Seketika jantungku kebat-kebit bak lampu disko. Kenapa rambutnya berubah jadi merah? Lintang dan temannya, Bisma, berjalan ke arah selatan. Mau kemana mereka? Bukannya ini belum jam istirahat? Aku cepat-cepat menampik pikiranku. I don't care!

Aku kembali memerhatikan Bu Olive dan menyelesaikan pelajaran sastra-ku.

***

"Kantin, yuk?" ajak Agnes kepadaku. Aku masih sibuk membereskan buku-bukuku.

"Duluan, deh, gue mau beresin ini dulu," ujarku sambil menunjuk buku-buku yang berserakan di meja.

"Oke, kita tunggu di sana, ya!" ujar Agnes.

"Jangan lama-lama, Megg!" teriak Nindy yang di seret Agnes.

"Iya!" balasku. Mereka berlalu meninggalkanku. Aku membereskan buku-buku dengan cepat. Lapar mulai menyerang perutku, aku harus cepat menyusul Agnes dan Nindy ke kantin.

"Hai, Megg!" sapa seorang lelaki yag duduk di hadapanku.

"Astaga," aku berjengit kaget karena tidak menyadari sejak kapan laki-laki itu ada di sana, "Bisma? Ada apa?" tanyaku sambil menatapnya sekilas.

Happy Birthday, Love! (On Going)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang