Night on H-14

29.2K 2.9K 112
                                    

"Na?"

Ada secangkir kopi di tangan Jaemin. Americano. Ia berkata lelahnya bergadang di rumah sakit bisa meluruh kalau dia minum americano. Pahit, namun senyuman Jaemin keterlaluan manis saat ia ngangkat kepalanya. Naikin alis. Nanya. Kenapa Jeno manggil dia.

Jeno gumam sebentar. Natap Jaemin lekat.

"Mau nikah ngga sama saya?"

Tersedak. Reaksi Jaemin adalah tersedak. Jeno tepuk punggung tangan Jaemin. Suruh Jaemin buat minum air putih yang Jeno pesan. Jeno ga suka kopi. Dia pesan air mineral selama menunggu Jaemin abisin kopinya.

"Coba ulangi, tadi ngomong apa?" Jaemin fokus. Sudah habis nenggak air mineral milik Jeno.

Senyum. Jeno mengulangi kalimatnya dengan amat halus.

"Mau nikah ngga sama saya?"

Lagi. Senyum.

"Saya ga akan janji muluk-muluk. Ga umbar-umbar rasa sayang ke kamu. Saya tahu diri saya sendiri. Saya cuma mau kamu percaya; saat kamu terima lamaran saya, berarti saya udah nyerahin segalanya ke kamu."

Jeno ambil tangan Jaemin. Urai jarinya hingga telapak tangan Jaemin terbuka. Ia naruh satu cincin. Berlian. Warnanya cantik. Jaemin sampai sesak lihatnya.

"Yang saya kasih ini cincin, tapi yang sebenernya saya kasih adalah rasa sayang saya ke kamu. Kamu mau ngga nerimanya?"

Jaemin kala itu tidak butuh waktu lama untuk mengangguk, menjadikan Jeno menjadi lelaki paling bahagia di dunia.

Dan segelintir kepercayaan itu sekarang ada di saku bajunya. Ia natap cincin itu patuh. Bingung harus apa. Nomor Jaemin tidak bisa dihubungi.

Jeno keluar dari mobil. Udah terlalu lama dia duduk di mobil dengan pikiran kosong. Rumahnya ramai. Sanak keluarganya mulai datang. Walau rencananya masih dua minggu lagi, pihak keluarganya sudah semangat merencanakan semua.

"Aduuh calon pengantin baru pulang?" Tantenya nyambut di depan pintu. "Kata Bunda, kamu bakal bawa Jaemin ke sini. Ga jadi?"

Jeno salim. Geleng pelan buat jawab. "Jaeminnya capek, Tante. Takut sakit. Makanya Jeno suruh istirahat."

"Ah, Jeno. Tante padahal pingin ketemu Jaemin, lho."

Jeno cuma senyum semampunya. "Jeno usahakan, Tan. Bunda di mana?"

"Di dalam. Lagi sibuk buat kue lapis kesukaan Jaemin. Buru masuk."

Hal yang paling sulit bagi Jeno adalah duduk di hadapan Ibunya. Liat wajahnya yang bahagia. Jeno takut menaruh luka di senyumannya.

"Bundaa," Jeno peluk Bundanya dari belakang. Lalu duduk di samping Bundanya yang lagi sibuk bikin adonan kue.

"Eeeh, calon pengantinnya udah pulang, toh. Pasangannya mana? Katanya mau mampir."

"Jaeminnya capek, Bun. Jeno suruh istirahat."

"Oooh, ya bagus. Kasian Jaeminnya kalau kecapean."

Jeno ngangguk. Matanya panas. Dia tidak bisa sembunyiin apapun dari Ibunya. Jeno taruh kepala di lengan Bunda.

"Kamu sakit, No? Kok mukamu panas?" Ibunya nanya khawatir.

Hatiku yang sakit, Bun.

Jeno narik nafas. Angkat kepala lalu manggil Bundanya pelan. Suaranya gemeter.

"Kenapa?" Tanya Bundanya lembut. Seolah tau kacaunya hati Putranya. Ia mengusap wajah Jeno. "Matamu kok merah, No? Kurang tidur?"

Nangis. Jeno nangis tadi di mobil. Isakannya perih. Ini pertama kalinya Jeno nangis sehebat itu. Hatinya sakit, terus, menyiksa. Jeno bahkan susah untuk nafas.

"Loh, kok Putranya Bunda nangis?" Ibunya mengusap pipi Jeno, yang tak sadar dia sudah menangis dari tadi. "Cerita sama Bunda. Berantem sama Jaemin? Kalian adu argumen? Kenapa kasepnya Bunda? Cerita dong."

Sulit. Nafasnya tercekik. Jeno membuka mulut. Lukanya menusuk. Ia kembali tak bisa bernafas. Ia menangis terlalu lirih. Tak sanggup berkata-kata. Semakin diulang ucapan Jaemin beberapa jam yang lalu, semakin melayang jiwanya. Ia semakin kosong.

"J-Jaemin." Jeno tersendat. Menghapus air mata. Ia mencengkram jari Ibunya. "A-aku sama Jaemin. K-ita mutusin untuk batalin pernikahan, Bunda."

Untuk pertama kalinya, Jeno melihat kekecewaan di mata Ibunya, tertuju sangat jelas untuk dirinya.

Elegi [NOMIN]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang