H-13

26K 2.8K 469
                                    

"Naa?"

Jaemin kedip. Dia lagi berdiri di depan mesin absen. Bengong. Sampe suara Renjun nyapa telinganya. Jaemin sontak nengok. Liat kawan karibnya itu lagi natap dia heran. Wangi parfum Renjun langsung nyerbu masuk, buah-buahan, melon dan stroberi juga campuran pancake hangat. Ada noda madu di sudut bibir Renjun. Melihatnya saja sudah membuat Jaemin tahu jika Renjun melalui sarapan paginya dengan amat menyenangkan.

"Lu mau nikah kebanyakan bengong dah, Na." Kata Renjun. Minggirin badan Jaemin supaya dia bisa absen. Ada setitik wangi kopi, bertahan di pipi dan leher Renjun seakan ada seseorang yang memberikan kecupan mesra di sana hingga aroma kopi yang disesapnya menempel hangat di ceruk leher Renjun. "Ada si Jeno noh di bawah."

"Hah? Ada Jeno?" Jaemin mastiin.

"Iyaa. Gue suruh naik, ogah kata dia." Renjun natap Jaemin. "Lu gatau dia ada di bawah?"

Jaemin geleng. Sejak semalam hapenya ia matikan. Benar-benar tenggelam dengan pikirannya sendiri.

"Kenapa? Berantem?"

Jaemin senyum tipis. "Gue nemuin Jeno dulu ya." Nolak jawab. Jaemin balik badan. Ngejauh dari Renjun.

Ga ada binar-binar bahagia di mata Jaemin kayak dulu, saat Renjun ngasih tau ada Jeno yang nunggu dia di bawah.

Datar. Kosong. Jaemin seolah hampa. Suaranya ga bersemangat. Bahkan langkahnya biasa aja, bukan lari kecil terburu agar ia cepat bertemu dengan kekasih jiwanya.

"Mau sampe kapan lu di situ, Ren?"

Renjun nengok ke belakang. Ada Haechan. Kerah kemejanya acak-acakan, juga dengan rambutnya. Tapi tetap tercium aroma wax segar di rambut Haechan yang setengah basah. Lengan kemejanya ia gulung sampai siku, ia jengah karena Renjun masih saja diam. Tidak bergerak.

"Yee malah diem! Awas! Gue mau absen!" Haechan dorong badan Renjun, yang masih diem. Liatin Jaemin yang lagi santai jalan ke Lift.

"Jaemin kenapa dah?" Renjun nanya entah pada siapa. Tapi Haechan tetap menjawab.

"Sindrom mau nikah. Biasa." Jawabnya sok tau.

"Ye, kayak pernah nikah aja lu."

"Gue pernah ditinggal nikah."

Renjun ngeringis. Benar juga. Haechan udah yang paling jagoan kalau masalah ditinggal nikah. Eh. Tapikan Jaemin dua minggu lagi nikah.

"Ngaco!" Renjun sembur galak. "Jaemin ga mungkin ditinggal sama Jeno."

Haechan muter bola matanya sebal. "Yakali aja Jaeminnya yang ninggalin Jeno!"

"Ngaco lu, kampret!" Renjun udah siap-siap mah geplak kepala Haechan tapi si Haechan udah langsung lari. Julurin lidahnya ke Renjun kayak anak-anak.

"Makanya buru nikah! Jangan HTS mulu! Tinggal udah satu rumah juga, masih mau aja digantungin."

"Bacot sia!" Renjun kasih jari tengah ke arah Haechan. Si Haechan sih asik ketawa sambil jalan ke ruangannya.

Iya. Renjun jelas pernah liat ekspresi yang sama. Pertama adalah Haechan, satu tahun lalu, datang ke rumah sakit dengan diam, bukan Haechan sekali. Menolak sarapan bersama dan mengurung diri, menolak berinteraksi, kesal di ruang operasi. Tiga hari kemudian baru tersebar kabar jika kekasih Haechan menikah, dan dengan bukan dengan Haechan sendiri, tapi dengan orang lain.

Lalu baru saja, Renjun melihat ekspresi yang sama di wajah Jaemin. Dan, ia begitu takut untuk bertanya.

.

Jeno kacau. Wajahnya tenang, tapi kalut. Kantung matanya hitam, sulit tidur. Aroma aftershave-nya maskulin, serbu penciuman Jaemin yang perlahan makin mendekat. Kemeja Jeno kucal, tak dimasukkan ke dalam celana. Penampilannya saat ini benar-benar bukan seorang Jeno yang ia kenal.

Elegi [NOMIN]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang