Sial ...
Hanya itu kata yang dapat mengekspresikan keadaan sekarang.
Aku berjalan dengan wajah gusar sambil menggenggam erat sapu terbangku, sesekali menendang ranting kering yang menghalangi jalan. Oh, apakah kalian bertanya apa aku tidak apa-apa? Jawabannya, aku sangat tidak tidak apa-apa.
Kesialan ini dimulai saat aku, Yura, dan Lizzy mulai berjalan menyelusuri hutan, saat itu Yura menyarankan agar kami menggunakan sapu terbang saja, supaya lebih efensien katanya.
Dan bodohnya, aku menyetujuinya tanpa berpikir panjang, lalu kami mulai terbang menggunakan sapu terbang dengan kecepatan sedang. Saat sedang dengan tentramnya kami terbang, tiba-tiba saja cahaya putih terlempar ke arah kami dan meledak begitu saja, membuatku, Yura, dan Lizzy terpental ke berbagai arah.
Dan jadilah kami terpencar ditengah hutan ilusi ini.
Kesialan ini berlanjut saat aku yang sedang berteriak-teriak mencari Lizzy dan Yura justru bertemu dengan seseorang yang mencoba untuk mendiskualifikasiku dengan kekuatannya. Andai jika Xia-xia boleh ikut dalam ujian ini, pasti akan lebih mudah.
Pocket-ku berdesing pelan, terdapat layar transparan yang menunjukan angka 94, menandakan bendera untuk lulus tersisa 94 lagi. Aku mendengus pelan, kemudian membuat pocket-ku ke mode tak terlihat. Aku menghabiskan waktu 4 jam ini hanya untuk menghindari musuh dan mencari Yura dan Lizzy.
Dan entah beruntung atau apa, saat aku sedang bingung untuk berbuat apa, aku justu aku bertemu dengan seorang gadis penakut yang meringkuk ketakutan dibalik pohon besar, hanya karena dia dikejutkan oleh seekor tupai--untuk informasi.
"He, hey! Aku tahu kamu sedang bersungut-sungut menahan kesal padaku 'kan?" Gadis dengan surai cokelat yang di kepang dua, lengkap dengan kacamata yang menghiasi kedua matanya--membuat penampilannya sempurna tampak seperti kutubuku--memprotes padaku.
Aku memutar bola mataku dan berdecak malas. "Kenapa kau mengikutiku, book worm?"
"Ja, jangan panggil aku begitu!" Gadis itu membenarkan posisi kaca matanya. "Aku punya nama! Namaku Alice, tahu!"
"Nah, Alice," ucapku manis dengan tatapan membunuh. "Kenapa kamu mengikutiku? Kau tidak tahu kalau aku sedang kebingungan, hah?"
Alice mengembungkan pipinya, membuat wajahnya bertambah manis. Aku penasaran, apakah semua orang di dunia sihir memiliki wajah yang begitu rupawan?
"Ta, tapi, umm ... Kecchan, kamu juga pasti merasa beruntung 'kan bertemu denganku?"
Ya, Alice ...
Si penyihir yang pernah tinggal di Jepang.
Dia daritadi bercerita panjang lebar tentang dirinya dan tentang negeri sakura yang selalu ingin ku datangi.
Memang sih, aku merasa sedikit beruntung bertemu dengan Alice. Karena ada yang menemaniku dan menceritakanku bagaimana seluk beluk negara yang selalu ingin aku datangi ini. Dan selain itu, kekuatannya juga sangat membantuku.
"Kekuatanku, Emotion Control, dapat membuatku mengetahui emosi semua orang di sekitarku. Aku sebenarnya juga dapat mengendalikan emosi seseorang, tapi sayangnya aku belum dapat terlalu mengendalikannya. Jadi terkadang, jika aku berusaha mengendalikan emosi seseorang, seseorang itu akan merasakan emosi yang berlebihan, kemudian tertekan, dan mengamuk. Jadi begitu tentang kekuatanku, kecchan. Kalau kecchan bagaimana?" Alice berjalan di belakangku dengan penuh anggun.
"Jangan panggil aku begitu." Aku mendesis pelan, walaupun nada berbicaranya begitu manis, tapi aku tidak suka namaku dipanggil dengan embel-embel jepang, apalagi kata chan menandakan bahwa kami telah berteman dekat. Walaupun terdengar manis, tapi aku tidak suka.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Tales: School of Magic
Fantasy[OLD VERSION] Apakah kalian percaya dengan sihir? Ah, mungkin sebagian besar dari kalian tidak mempercayainya. Tapi, ke marilah bagi kalian yang percaya. Akan aku bisikkan sebuah rahasia yang bisa mengguncang seluruh alam semesta. Mau tahu rahasiany...