Hay~ this is the first chapter! Enjoy this story... Don't forget to Vote if you like this part, and Comment what you thing about
Happy Reading!!!
.
.
Hujan masih setia mengguyur pusat Seoul sore ini. Senja yang biasanya akan menjadi favorit si gadis yang saat ini tengah duduk bersandar di bangku paling pojok kelas 2-3a, kini tak terlihat. Jam pelajaran memang telah berakhir sejak dua puluh menit yang lalu, namun kelas masih di penuhi sebagian siswa. Kebanyakan terjebak hujan karena tak membawa payung, selebihnya ada dengan alasan masing-masing.
Seperti si gadis pojok itu misalnya. Hujan tak pernah menghalanginya untuk menikmati tetes dari langit tersebut. Alasan gadis itu masih bertahan adalah karena ia tak menyukai ide tentang pulang cepat. Karena jika bagi sebagian orang, rumah adalah tempat ternyaman. Maka bagi gadis itu, rumah adalah neraka dunianya.
" ...Aku lebih suka membeli tiket fansighn daripada tiket konser "
Yerim melirik teman-teman sekelasnya yang tengah berkumpul di depan mejanya – membahas seputar kesenangan remaja. Sedang teman-temannya beradu pendapat, Yerim hanya dapat diam memperhatikan. Bukan karena tidak tertarik, tapi lebih pada ia tak mengerti hal-hal semacam itu. Hidupnya tak semudah ketika ia masih kecil dulu.
" Kenapa begitu? " Tanya teman yang lain. Yerim melirik gadis berkucil kuda dengan seragam super ketat yang berdiri dekat mejanya, sebelum beralih pada satu-satunya siswa lelaki dengan gaya kemayu di antara mereka.
" Tentu saja karena aku bisa berinteraksi langsung dengan idolaku. Jika hanya konser, aku tak akan bisa menyentuh mereka. bertatap muka kurang dari satu meter benar-benar membuatku melayang... "
Yerim hanya tersenyum mendengar celotehan teman sekelasnya tersebut. Meski setelahnya, ia tak lagi menyimak pembicaraan mereka karena fokusnya kembali pada tetesan hujan di balik jendela kelas. Hujan memang menyenangkan, tapi juga merepotkan. Tapi bagi Yerim, hujan di saat seperti ini juga sebuah anugerah Tuhan. Dengan begitu, ia tak perlu berada di rumah terlalu cepat.
.
.
Gelap menemani langkahnya menyusuri jalan kompleks menuju tempat tinggalnya. Sisa-sisa hujan masih menyinggalkan udara sejuk menembus kulit. Lampu jalan memang cukup terang, hingga gadis berseragam SMA itu berani melangkah dengan pelan. Bukan menikmati malam, melainkan memperlambat kehadirannya di tempat yang ia sebut neraka.
Kim Yerim! Entah sejak kapan, remaja berusia tujuh belas tahun itu merasa pulang adalah sesuatu yang tak ia nantikan ketika berada di sekolah. Tidak seperti teman-temannya yang lain, yang menjadikan bel berakhirnya jam pelajaran adalah bunyi 'surgawi'. Ia justru jengah. Karena Yerim tak akan memiliki alasan lagi untuk menghindar dari sesuatu yang di sebut masalah. Baginya, rumah bukan lagi tempat ternyaman, melainkan neraka terkejam.
Pukul sembilan malam, Yerim tepat berada di depan pintu gerbang kediaman keluarga, Kim. bangunan dua lantai yang di dominasi warna putih – abu-abu, dengan tembok pagar kokoh bercat abu-abu yang mengelilinginya. Juga taman kecil di depan rumah, lengkap dengan kolam ikan dan bangku taman untuk bersanati keluarga ketika sore menjelang. Rumah yang terlihat hangat, meski bagi penghuninya sendiri justru terasa begitu panas.
Yerim menghela nafas lelah, sebelum mendorong pintu besi yang menghubungkannya langsung dengan jalan setapak melewati taman menuju pintu utama rumah. Dan ketika ia membuka pintu, seorang wanita paruh baya yang duduk di atas kursi roda telah menyambutnya dengan senyum hangat. Meski Yerim tahu pasti, di balik senyum itu ada luka yang teramat dalam.
KAMU SEDANG MEMBACA
Darkness Eyes
FanfictionKim Yerim harus menahan diri untuk tidak berbuat nekat dan menghancurkan usahanya untuk mempertahankan apa yang seharusnya menjadi miliknya. Segala kesakitan itu, ia tahan di depan orang termasuk Ibu kandungnya. Berperan sebagai gadis kuat untuk me...