Dengan langkah gontai, Yerim menyusuri jalanan sepi kompleks perumahannya. Berkali-kali, helaan nafas berat keluar dari mulutnya. Bukan lelah karena harus berjalan cukup jauh untuk sampai ke rumahnya, melainkan perasaan berat harus kembali pulang ke rumah yang tidak layak ia sebut rumah. Jika bukan karena keberadaan Ibunya di rumah itu, Yerim pastikan haram menginjakkan kaki di sana.Gadis itu sudah kembali memakai seragam sekolahnya. Di lapisi jaket tebal hasil pinjaman pada Eunha, ia menyeret tas sekolahnya – seakan tak memiliki tenaga untuk mengangkat benda tersebut. Sepatunya pun tak terpasang dengan benar, membuat gadis itu beberapa kali bersandung kakinya sendiri.
Ini masih pukul sembilan malam, dan keadaan sekitar tampak sepi. Tidak biasanya suasananya akan sehening ini ketika masih di bawah jam dua belas malam. Setiap lewat, Yerim akan bertemu bibi penjual bunga di ujung kompleks yang tadi tutup. Lalu akan ada beberapa ibu-ibu yang berkumpul di taman kompleks yang tadi ia lewati. Yerim merasa malam ini begitu berbeda, terutama pada perasaannya yang begitu gelisah.
Mungkin memang hanya perasaannya saja. Atau yang lebih memungkinkan adalah kejutan dari keluarga tirinya sesampai ia di rumah nanti. Who knows?. Selama sang kepala keluarga tidak berada di rumah, maka apapun bisa terjadi padanya dan sang Ibu. Yang pasti, jika bukan luka fisik akan di terimanya, maka hatinya yang hancur karena menyaksikan Ibunya yang tersiksa batinnya.
Srekk
Yerim menghentikan langkah seketika saat mendengar suara itu. Tak langsung berbalik, gadis remaja itu mengeratkan tali tas yang ia genggam. Berjaga-jaga untuk menghantamkan benda itu jikalau ada sesuatu yang membahayakan. Mengambil nafas dalam, Yerim berbalik cepat. Matanya awas mengamati jalanan yang ia lewati tadi. Sepi – kosong. Tidak ada tanda-tanda kehidupan lain selain dirinya di sana. Dan itu justru membuatnya semakin was-was.
Mungkin hanya kucing kawin. Pikirnya mencoba positif.
Ia kembali melanjutkan langkahnya. Kali ini penuh semangat hingga hampir berlari. Mau bagaimana lagi, seberani apapun dia menghadapi para iblis betina di rumah, tetap saja hantu sungguhan lebih menyeramkan. Keadaan ini benar-benar menakutinya.
Yerim segera membanting pintu rumah sesaat setelah masuk ke dalam. Lupa, bahwa apa yang di lakukannya barusan dapat menimbulkan masalah untuk dirinya. Dan itu terbukti beberapa saat kemudian. Ketika remaja yang masih mengatur nafas itu mendengar derap langkah mendekat. Di susul beberapa sosok wanita dengan baju rumahan yang bisa di katakan agak berlebihan untuk di gunakan di dalam rumah – muncul di ruang tamu. Termasuk Ibunya yang mengendalikan sendiri kursi rodanya.
" Apa yang kau lakukan!? " Pekikan itu berasal dari sang Ibu tiri – yang tengah menatapnya tajam. " Pulang terlambat tidak ada kabar, dan sekarang membanting pintu?! Kau semakin kurang ajar nona muda! "
Yerim hendak membalas kalimat bernada sinis itu, saat melihat Ibunya mendekat dan meraih jemari tangan kanannya – menggenggamnya. Joohyun tidak mengatakan apapun, hanya menatap penuh permohonan pada sang putri agar tidak terpancing dan menyebabkan keributan lainnya. Sudah cukup ia melihat putri satu-satunya tersebut mendapat luka lebam di beberapa bagian tubuh akibat pertengkaran pagi tadi.
" Kau lihat, Bae Joohyun! Putrimu ini memang tidak bisa di atur, dan itu semua salahmu yang tidak bisa mendidiknya dengan benar... "
" Jangan bawa-bawa Ibuku, sialan! " Desis Yerim tak terima.
" Yerim... Ibu mohon! " Joohyun berujar lirih.
Wanita paruh baya tersebut menarik tangan putrinya yang berniat mendekati, Chorong. Keadaan seperti ini sangat tidak bagus untuk melanjutka apapun pembicaraan ini. Entah perdebatan atau diskusi, ia yakin tidak akan berujung baik. Karena selalu putrinya yang terlukan pada akhirnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Darkness Eyes
FanfictionKim Yerim harus menahan diri untuk tidak berbuat nekat dan menghancurkan usahanya untuk mempertahankan apa yang seharusnya menjadi miliknya. Segala kesakitan itu, ia tahan di depan orang termasuk Ibu kandungnya. Berperan sebagai gadis kuat untuk me...