Diantara Rinai Dosa

4.5K 311 24
                                    

Umar mengangkat satu alisnya, dengan sorot mata yang seakan siap untuk menerkam lawan. Berdiri membelakangi Arinda, agar Harri tak bisa terus menatap wanita pujaannya.

Harri merasakan dadanya memanas. Cemburu, itu pasti. Menyesal, tentu saja. Dan juga tak percaya, secepat itu Arinda melupakannya? Secepat itu ia sudah menerima pria lain di hatinya?

"Arinda, apa benar dia ini calon suami kamu?" Harri mencoba memastikan, menunggu jawaban dari Arinda.

Arinda menunduk, diam. Bingung dengan pikirannya.

"Arinda!" panggil Harri dengan suara bergetar.

"Sudah, kamu pergi aja. Dia sudah melupakan mu, dan akan menikah dengan ku. Apa kamu bisa memahaminya? Jangan ganggu Arinda!" Umar menatap Harri dengan sengit.

Arinda merasakan pipinya menghangat, mungkin pipinya sangat merah saat ini, setelah mendengar kata- kata Umar barusan.
Gerimis mulai berguguran, petir pun masih terus bersahut- sahutan.
Hati Harri benar- benar remuk. Ia pun berjalan dengan gontai menuju mobilnya, kemudian pergi dari hadapan Umar dan Arinda dengan rasa sakit yang sangat.

Umar menoleh ke Arinda. Kedua mata wanita itu menyala, menatapnya tajam. Baru kali ini Umar melihat Arinda seperti hendak memakannya hidup- hidup.

"Apa?" Umar bertanya.

"Bisa jelaskan maksud anda apa, dengan mengaku- ngaku saya adalah...." Arinda berhenti berucap.

"Calon istri saya?" Umar menyunggingkan seutas senyuman." Gitu aja masa gak paham, yaaa buat nolong kamulah. Biar dia gak ganggu kamu lagi. Tuh, pergi kan dia." kata Umar, santai.

" Tapi..."

"Gak usah dianggap serius. Itu tadi murni untuk ngusir dia dari hadapan mu. Jangan berpikir macam- macam." Sergah Umar.

"Hhhhh," Arinda mendengus," Saya gak mikir macam- macam. Saya cuma...." Arinda bingung sendiri.

Umar menatapnya lekat, menunggu kalimat berikutnya dari bibir wanita itu. Tapi tak ada, wanita itu malah menunduk lagi menghindari tatapannya.

Umar memperhatikan di sekelilingnya." Motor kamu mana?"

"Lagi istirahat," Sahut Arinda agak ketus.

" Mau naik angkot?"

" Bukan urusan anda." Sahutnya masih nada ketus.

" Gak pesan taxi atau grab?"

"Gak," Arinda mengangkat wajahnya, matanya saling bertemu. Angin bertiup semakin kencang, menyapu wajah mereka. Dingin menyusupi rongga- rongga kulit.

"Ya sudah, gak usah jutek dong. Biasa aja." kata Umar.

Arinda melangkah.

"Yakin jalan kaki, hujan lhooo." Umar seperti menggodanya.

"Saya mau mandi hujan, sudah lama gak mandi hujan." Sahut Arinda sekenanya saja. Ia melanjutkan langkahnya, pergi dari hadapan Umar.

Umar memandangi nya yang semakin menjauh." Cewek aneh.'Pikirnya. Lalu masuk ke mobilnya.

Ingin rasanya mengantarnya pulang, tapi Umar sudah dapat memastikan Arinda tidak akan mau. Ya, karena hanya berdua saja. Menghindari khalwat, berdua- duan dengan yang bukan mahramnya.

Hujan mulai deras. Arinda masih terus jalan, tak ada satu pun angkot yang lewat. Sudah basah kuyup, jadi ia memutuskan terus melangkah diantara derai hujan. Enggan berteduh seperti yang dilakukan beberapa orang di sekitarnya yang memilih berteduh di depan emperan toko.

Arinda seakan sedang meluapkan perasaannya. Rasa sakit karena Harri dan rasa 'aneh' kepada Umar. Hujan membuat ia merasa nyaman.

Sudah hampir satu kilo ia berjalan, tiba- tiba sebuah mobil merah berhenti di dekatnya. Seseorang dari balik kemudi  menurunkan kaca jendelanya.

Diantara Rinai Dosa (Sudah terbit) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang