Diantara Rinai Dosa

4.3K 308 15
                                    

Lagi, untuk kesekian kalinya, Arinda menjadi buah bibir para pemilik mulut nyinyir. Kegagalannya menikah, biar sudah berusaha ditutupi. Tetap saja, mereka tahu.

Tapi sudah kebal rasanya kedua telinga Arinda dengan ocehan para tetangga. Diam, itu lebih baik. Biarkan saja mereka terus mencemooh, mengungkit- ungkit aibnya. Toh, janjiNya orang yang dighibahi justru berbonus pahala, transferan pahala mereka mengalir kepada dirinya. Sementara para pengghibah menjadi orang- orang yang rugi, pahalanya habis dan dosa pun bertambah.

Hanya saja, beberapa pekan setelah Harri membatalkan pernikahan mereka, Arinda sering melamun. Kurang konsentrasi dengan pekerjaannya. Bagaimana pun, pastilah ada sedikit kecewa. Dan menyisakan sedikit trauma.

Umar belum tahu soal kegagalan Arinda menikah dengan Harri. Teman- teman kantor pun tak tahu, kecuali Desi. Arinda sempat sedikit mencurahkan kesedihannya atas kegagalannya untuk menikah.

"Makan yuk, Arinda!" Desi menggantung mukena yang ia pakai tadi. Lalu dimasukannya ke lemari.

"Aku gak laper. Aku masih mau di sini aja." Arinda menyandarkan punggungnya ke dinding mushalla.
Teman- teman yang lain, sudah pergi dan makan siang bersama di lantai bawah.

"Kamu, jangan sedih terus dong. Lihat, kamu terlihat kurusan." Desi duduk di sebelah Arinda." InsyaAllah nanti dapat jodoh yang lebih baik dari yang kemaren." Desi mencoba menyemangati.

Tanpa mereka sadari, Umar masih di mushalla. Ia sedang chat dengan Andre lewat WA. Membahas bisnis mereka yang sebentar lagi rampung dan siap beroperasi.

Umar jelas mendengar obrolan Desi dan Arinda.

" Move on, buka hati lagi untuk yang lain." kata Desi, bersemangat.

"Hhhh, aku seperti masih trauma. Butuh beberapa waktu sepertinya, agar rasa ini sedikit menghilang. Takut gagal lagi." ujar Arinda dengan mata yang mulai berkaca- kaca.

"Jangan kelamaan sedihnya, kamu juga harus memikirkan banyak hal. Faruq, pekerjaan mu. Kalo kamu banyak ngelamun, entar pak bos marah lho. Soalnya akhir- akhir ini kamu sering kena tegur pak bos. Kalo sudah gitu, wajah galaknya buat aku makin meleleh."

Umar berdehem. Membuat mereka berdua terperanjat.
Desi melebarkan matanya, menoleh ke Arinda.
Desi menggigit bibirnya.

"Pak Umar?" panggil Desi.

"Ya, kenapa?" sahut Umar dari balik hijab.

"Ternyata, bapak masih di sini....hehehe," Desi malu.

"Gak pa-pa, syukur,  saya jadi tau. Kalau saya bisa bikin kamu meleleh kalo saya lagi galak." ledek Umar. Ia mengakhiri chatnya dengan Andre. Siap- siap pergi.

Arinda terkekeh. Desi jadi malu. Lalu tertawa.

"Ihhh, ketahuan deh." ujar Desi.

"Oke, saya duluan." Umar pamit, lalu ke luar dari mushalla.

Desi menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya. "Ihhhh, maluuu."

Arinda tertawa. Desi menoleh ke arahnya.
"Nah, gitu dong, ketawa." Desi tampak senang, karena sudah lama Arinda tidak tertawa seperti itu.

Di dalam hatinya. Arinda berujar,"Berarti pak Umar, dengar semua obrolan ku dan Desi?"

--------------

Ada secercah harapan, setelah Umar secara tak sengaja mendengar perbincangan Desi dan Arinda tadi.

Harapan untuk melamarnya kembali. Kali ini jangan sampai terlambat. Tapi, harus melihat momen yang tepat. Setidaknya menunggu suasana hati Arinda sedikit membaik.

Diantara Rinai Dosa (Sudah terbit) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang