Diantara Rinai Dosa

5.3K 343 13
                                    

"Aku cuma gak mau ada hutang budi, mas!" Arinda berujar dengan sedikit nada tegas.

Harri sesaat menatap Arinda yang berdiri di sebelah mak Siti yang duduk berhadapan dengannya.

"Tapi beneran,aku gak bermaksud apa-apa. Itu aku lakukkan tulus untuk bantu kamu." sahut Harri.

"Makasih mas Harri sudah bantu. Tapi, aku akan tetap ganti uang mas Harri kalau nanti aku sudah kerja." Kata Arinda mempertegas tekadnya.

Mak Siti dan Harri saling pandang.

"Oke, terserah kamu." ujar Harri pasrah.

Arinda lega, kemudian ia pamit masuk ke rumah karena Faruq tiba-tiba terdengar menangis. Arinda menghilang dari hadapan Harri.

"Maafin mak ya, kemaren keceplosan." mak Siti berujar dengan raut wajah menyesal.

"Ya sudah,mak. Gak pa-pa." Harri tersenyum pada wanita itu. Lalu ia berpamitan karena harus ke kantor.

----------------

Empat bulan kemudian...

Arinda bersiap-siap akan berangkat untuk panggilan interview di salah satu kantor agen travel. Arinda menciumi putranya yang sudah bisa duduk dan merangkak. Ia gendong bayi tujuh bulan yang sedari tadi merangkak ke sana kemari menghambur-hambur mainan di lantai ruang tamu.

Faruq makin menggemaskan. Wajahnya tampan, mirip dengan ayahnya. Wajah yang selalu mengingatkan Arinda kepada penyesalan yang seakan tak bertepi.

"Doain bunda, ya. Semoga diterima kerja," Arinda berujar kepada Faruq yang tersenyum padanya.

Mak Siti ke luar dari arah dapur. Lalu mengambil Faruq dari gendongan Arinda. Ia menciumi Faruq dengan gemas.

"Cepat berangkat, entar telat lho."

"Iya mak." Arinda merapikan bross berbentuk mawar yang menempel pada jilbab biru mudanya yang sedikit miring karena habis menggendong Faruq. Ia meraih tas hitam yang ada di meja tamu. Lalu berpamitan pada mak Siti.
---------
Diparkirkannya motor matic biru yang ibunya hadiahkan bulan lalu. Sebuah motor yang sudah setengah pakai. Tapi lumayan karena mesin dan body motor masih bagus.
Dia taruh helm merah muda yang tadi menutupi kepalanya di atas stang motornya.

Rasa senang, gugup, dan penuh pengharapan bercampur jadi satu dalam benaknya. Ia mengucapkan bismillah dalam hati lalu melangkah memasuki gedung berlantai tiga, di bagian dinding sebelah kanan tertulis "Agen Travel Abu Oemar."

Ia bertemu dengan lima orang wanita muda yang juga akan mengikuti interview. Sofa di ruang tunggu itu rupanya penuh. Arinda pun berdiri saja di pojok ruangan dekat jendela kaca besar yang ditutupi tirai kain tipis berenda berwarna putih.

Ia mengedarkan pandangannya ke seluruh ruangan yang dindingnya bercat putih. Ia melihat seorang wanita muda ke luar dari toilet yang terletak di bawah tangga sebelah kiri. Wanita itu melangkah menuju meja yang di atasnya tertulis receptionis yang terletak di dekat pintu masuk. Sebelum duduk, ia melihat Arinda yang tak kebagian tempat duduk. Lalu ia memanggil lelaki cleaning srevice yang sudah berumur 40 tahunan yang sejak tadi sedang mengepel lantai.
Lelaki itu mendekati wanita berjilbab coklat tua tersebut. Wanita itu meminta agar membawakan kursi untuk Arinda.
Lelaki itu pun mengangguk.

Tak berapa lama pria itu ke luar dari ruangan yang di pintu tertulis 'gudang' teeletak bersesebelahan dengan toilet.
Buru-buru ia meletakkan kursi plastik putih di samping wanita yang duduk di sofa sedang asyik membenahi riasannya dengan cermin kecil di tangan kirinya.
Pria itu menyuruh Arinda untuk duduk di kursi tersebut. Arinda pun duduk setelah sebelumnya mengucapkan terimakasih kepada pria berkulit hitam itu.

Diantara Rinai Dosa (Sudah terbit) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang