Dinginnya malam

2.7K 252 36
                                    

Sekali lagi
Satu malam lagi
Satu hari penuh siksaan, ocehan kasar, dan ketakutan
Satu sayatan, dua sayatan terus diberikan
Tak ada sedikitpun belas kasian
Apa yang dipikirkan kedua orang bodoh itu?
Bisanya hanya menyiksa orang

♡♥♡♥

"Jadi kita apakan anak itu? Anak itu benar-benar tak berguna"
"Entahlah"
"Dia kan anakmu.. kau harus tahu"
"Anakku?! Jangan bercanda? Aku tak sudi menganggap bocah meyedihkan itu sebagai anakku"
"Ya sudah, buang saja dia, aku juga tidak peduli"
"Jangan begitu, kita ini sedang dalam kesulitan, bisa saja kan anak itu nanti melapor kepolisi"
"Ck! Terserah kau sajalah, ku benar-benar tidak mengerti apa maumu"
"Lebih baik kita manfaatkan"
"Baiklah, kita jual anak itu"
"Jangan!! Sudah berapa kali kubilang..blabla..bla"

Anak bersurai putih itu hanya bisa mengurung diri di kamarnya. Anak itu menutup telinganya erat-erat dibalik pintu kamarnya. Suara bising dari luar kamar membuatnya menangis terus-terusan. Belum lagi luka sayatan yang memenuhi kedua lengannya, Ia balut dengan kaus bekas asal-asalan. Suara di luar kamarnya berasal dari dua orang dewasa yang amat Ia kenal. Anak itu terus memegangi tangannya yang penuh luka menahan sakit dan darah yang keluar. Anak itu terlalu takut untuk menyentuh pintu kamar, apalagi membukanya. Sekali keluar, anak itu pasti akan mendapat sayatan baru. Anak itu muak disiksa terus-menerus tiap malam, anak itu lelah dengan amarah dua orang dewasa itu yang dilampiaskan padanya, anak itu mual dengan suara berisik diluar kamarnya, anak itu merasa sebaiknya ia mati saja. Dengan mati, ia akan bahagia di'sana'. Tidak ada yang menyiksanya, tidak ada ocehan bising dua orang bodoh itu, tidak ada luka-luka sayatan dilengannya. Ia merasa jika ia mati semua masalah pasti akan selesai.

Tapi, Ia tidak sebodoh itu. Anak itu memutuskan untuk nekat minggat dari rumah busuk itu-yang seharusnya ia lakukan dari dulu tetapi ia terlalu takut. Diambilnya tas kecil dan memasukkan baju seadanya dan sebuah roti yang dari kemarin Ia belum makan. Perlahan anak itu membuka jendela kamarnya, naik dan keluar lewat jendela kamarnya. Hujan deras menyambutnya diluar. Anak itu berlari kencang menjauhi rumah busuk itu. Ia terus berlari dan berlari entah kemana. Anak itu berlari dan terus berlari, yang dirasakannya hanya hujan membanjiri tubuh kecilnya. Anak itu melihat satu cahaya yang sangat menarik perhatiannya. Ia berlari kearah cahaya itu, sebuah toko. Anak itu berdiri di depan toko tersebut untuk berteduh sementara hujan masih turun dengan derasnya.

Perutnya sudah berbunyi dari tadi pagi. Ia belum makan seminggu, sekali makan hanya sepotong roti ukuran kecil, itu juga tidak seminggu sekali dikasih. Lalu, ia mengeluarkan roti yang ia bawa dan memakannya dengan lahap. Anak bersurai putih itu menatap luka dilengannya, ia berharap seseorang dapat menyembuhkan luka-luka sayatan di kedua lengannya itu. Lukanya yang masih baru mengeluarkan darah, buru-buru ia balut dengan kain baru yang agak basah terkena hujan. Darah menembus kain yang ia balut, ia mengernyit kesakitan. Karena lelah dan kedinginan, ia terduduk sambil memeluk kakinya dengan erat. Ia menggigil, udara malam bercampur hujan deras itu bukan hal yang bagus untuk anak seumurannya. Anak itu mengambil satu baju yang ia bawa dan memakainya dobel dengan baju yang sebelumnya ia pakai. Anak itu terus berusaha menghangatkan diri dengan meniupi tangannya yang mulai keriput. Ia merasa sebentar lagi akan mati kedinginan dan kelaparan. Udara malam yang dingin seakan menusuk-nusuk tubuh anak tersebut. Ia menatap kelangit malam tanpa bintang dan berdoa.

"Semoga ada seseorang yang mau merawatku dan menerimaku apa adanya"
Anak itu menangis dalam diam,

"..tidak seperti mereka"

♡♥♡♥

Brother「Soramafu」| DISCONTINUETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang