"Saat luka tertutup masa, perlahan pulih. Masih ada bekasnya di sana. Membuat kita waspada, dan paham akan hakikat sebuah luka" -Zuni Raivani
●●●
Zuni masih di perpustakaan, jadwal mengajar Miss Vhanya masih sampai jam istirahat nanti. Ia merasa bersalah pada Ibunya saat dihukum seperti ini. Ia tahu betul, bagaimana ibunya yang sakit itu berusaha mencukupkan gaji pensiunan Ayahnya yang tak seberapa untuk biaya sekolahnya dan Kakaknya yang masih kuliah. Belum lagi biaya obat Ibunya yang masih harus rutin ditebus tiap bulannya.
Rasanya ia ingin marah pada takdir. Lagi, ia tahu bahwa semua itu percuma.
Ia memilih untuk membaca buku matematika, mengejar ketertinggalan materi yang terpaksa ia tinggalkan hari ini. Zuni sangat kesal pada Fakra. Bagaimanapun, Zuni berusaha untuk tidak mencolok di sekolahnya. Tapi dengan kejadian seperti ini akan membuatnya menjadi bahan pembicaraan. Aah, yang benar saja, sumber gosip sekolah berada di kelasnya. Dengan sedikit bumbu pada bibirnya, para penggosip pasti bisa membuat berita kecil menjadi heboh seantero sekolah. Apalagi Fakra yang banyak di puja itu ikut terlibat.
"Aaaahhh !!!!! Ini membuatku frustasi. Kenapa dia tidak bisa membiarkanku hidup damai sehari saja". Rasa sakit itu kembali menyerang kepalanya. Ia meyerah, menyandarkan kepalanya di tembok dengan mata terpejam. Ia ingin damai sebentar saja.
Zuni merasakan kepalanya ditarik untuk bersandar ke pundak seseorang. Sontak ia langsung membuka matanya dan mendapati Fakra dengan tatapan teduh dan senyum tulus yang terpatri sempurna. Debaran jantung Zuni menjadi kacau, ia berusaha menormalkannya secepat mungkin. Mengelak bahwa ia sudah jatuh pada pesona sang Ketua OSIS. Ia menarik kepalanya menjauh.
"Kenapa ? Bukankah nyaman ?" Tanya Fakra. "Tidak" jawab Zuni singkat. Ia hendak pergi meninggalkan Fakra karena masih kesal padanya, tapi terlalu malas untuk berdebat dengannya. "Baiklah, aku minta maaf. Aku hanya ingin kau bicara tadi. Dan harusnya kau mengelak saat dihukum. Tapi apa ? Kau malah menerimanya" ucap Fakra penuh sesal.
Zuni menghela napas kasar "Hhh, apa aku ini hanya mainan bagimu ? Hidupku hanyalah candaan ? Berhenti melakukan apapun yang kau mau karena perilakumu menyusahkan orang di sekitarmu. Dan aku tak akan berhenti sebelum aku merasa cukup. Jadi berhentilah berusaha merubahku" ujar Zuni sedingin mungkin. Ia sudah tak tahan memendamnya sendirian.
Fakra malah tersenyum mendengar penuturan Zuni. Ia lega, bahwa gadis ini sudah mau mengekspresikan kekesalannya lewat perkataan pedas dan tatapan tajam. Tapi di sisi lain, hatinya terluka mendengar penilaian Zuni terhadapnya selama ini. "Jadi, begitukah aku di matamu ?". Gumam Fakra setelah kepergiannya.
●●●
Prediksi Zuni benar. Pulang sekolah, hujan turun lagi, tak sederas kemarin. Dia sudah tak peduli jika sragamnya basah kuyup. Sedangkan ranselnya ditutupi mantel khusus yang dapat menahan air hujan. Ia berjalan pulang, kost nya memang tak jauh, hanya sekitar 200 meter dari sekolahnya dengan berjalan kaki. Jika naik kendaraan, maka harus mengambil jalan memutar menjadi lebih jauh.
Semenjak kejadian di perpustakaan, Zuni sama sekali tak berbicara pada Fakra dan bersikap lebih dingin dari biasanya. Fakra pun sibuk dengan persiapan pemilihan ketua OSIS yang baru karena dirinya akan ada pergantian pengurus. Mereka saling berdiam, saling introspeksi diri. Zuni merasa sedikit keterlaluan pada Fakra. Hanya karena kesalahan sekecil itu, mereka berjauhan. Dan ya, gadis itu sedikit menyesali perbuatannya.Sesampainya di kost, Motor Ravatri sudah terparkir di sana. Zuni langsung menaruh tas nya di depan kamar, mengambil handuk dan alat mandi, kemudian masuk ke kamar mandi. Otaknya perlu dicuci agar lebih segar. Tak lupa, ia merendam sragamnya dengan air sabun.
Setelah mandi, Zuni mengambil pakaian kotor di kamarnya untuk kemudian di cuci bersama sragamnya yang tadi. Vatri masih belum menyadari keberadaan Kakaknya itu, dia terlau asyik menonton kumpulan mv EXO sambil bernyanyi-nyanyi.Tak butuh waktu lama, karena hanya beberapa potong pakaian saja. Dia selalu mencuci baju 3 kali seminggu.
Kepalanya malah terasa semakin berat sejak keramas tadi. Ia memilih berbaring di atas kasur. Memejamkan matanya, mencoba tidur. Nihil, dia tetap tak bisa tidur. Akhirnya ia hanya berbaring. Pandangannya menerawang pada langit-langit kamarnya yang dicat warna biru.
Terdengar suara mobil samar-samar karena hujan yang mulai reda berhenti di depan kost nya. Zuni mengerutkan kening, berfikir. Ditengoknya, jam menunjukkan pukul 7 malam. Selama itukah dia melamun ? Seingatnya ia selesai mencuci pukul setengah 6 tadi. Ia memutuskan tak acuh. Mungkin tamu pemilik kostnya. Ia hendak beranjak dari kasur saat suara gerbang diketuk. Ternyata Ravatri sudah lebih dahulu membuka gerbangnya. "Oh, temannya Vatri" pikir Zuni. Ia kembali berbaring merasakan kepalanya yang makin berdenyut. Tak lama, pintu kamarnya diketuk. Ia membukakan pintu dengan menggerutu. "Ada apa ? Biasanya kau langsung masuk !". Betapa terkejutnya Zuni karena yang dihadapannya saat ini adalah Fakra, dengan pakaian kasualnya, melupakan fakta jika dia hanya mengenakan daster pas selutut.
"Aaaaaaaaaaaaaa!!!" Teriak Zuni sambil menutup pintu agak keras. Tentu saja dia malu. Bagaimana bisa Fakra melihatnya dalam kondisi semacam ini. "Yaaa ! Kenapa kau tak bilang akan datang !!" Zuni sedikit berteriak di balik pintu. Dia segera mengambil celana training dan kaos oblong yang ada di dekatnya. "Uum.. a-aku meneleponmu b-berulang kali. Tapi kau tak mengangkatnya" ucap Fakra agak gugup. "Benarkah ?" Zuni meraih handphonenya di atas nakas. Pantas saja, handphonenya dalam mode silent. Dia kemudian membuka pintu perlahan, lalu berjalan ke ruang tamu depan yang diikuti oleh Fakra.
Hening, tak ada yang membuka pembicaraan. Mereka masih canggung setelah insiden 'daster' tadi. Hanya rintikan gerimis yang menggema.
"Maaf" ujar Selembut mungkin. Kepalanya mendongak perlahan, matanya menatap manik hitam Zuni, mengunci pandangannya. Hening selama beberapa detik. "Aku juga. Maaf karena keterlaluan padamu" Zuni tersenyum agak canggung.
Fakra terkekeh. Lalu berubah menjadi tawa, benar-benar lepas. Bebannya seharian akhirnya terangkat. Yang mengusik pikirannya sudah terurai. Tangannya terangkat mengacak rambut Zuni. Namun, bukannya merona, Zuni malah melotot padanya. Memberikan tatapan maut, seakan menampik paksa tangan Fakra. "Apakah kau sakit ? Kau terlihat pucat" Fakra akhirnya menanyakan hal yang membuatnya khawatir sejak tadi. "Hm, aku tidak selemah itu. Kepalaku hanya pusing. Mau kubuatkan minum ?". "Tidak. Maksudku, mau pergi minum kopi di luar ?". Zuni tidak menjawab, hanya tersenyum, lalu mengganti bajunya agar tak terlihat seperti pembantu jika bersanding dengan Fara. Tak lupa, dia mengenakan cardigan karena cuaca diluar cukup dingin.
"Ayo!" Ajak Zuni. Mereka berdua masuk ke mobil, jangan berharap Fakra membukakan pintu untuk Zuni. Tak ada perlakuan seperti itu dalam kehidupan persahabatan mereka. Pernah Fakra melakukannya, Zuni malah tertawa sambil memukul lengan Fakra. Dia bilang, itu menggelikan jika Fakra tiba-tiba bersikap manis padanya. Padahal sebenarnya, setiap hari Fakra bersikap manis. Hanya saja Zuni tak merasakannya.
Fakra melajukan mobilnya di jalanan Kota yang masih ramai, mereka mampir ke cafe untuk membeli kopi, tapi mereka tak meminumnya di sana. "Memangnya kita akan ke mana ?" Tanya Zuni penasaran. "Duduk saja dengan tenang, aku akan membawamu ke suatu tempat. Dan.... jangan berpikir macam-macam karena aku tidak akan melakukan apa yang ada di imajinasimu itu" sahut Fakra panjang lebar. "Yaa! Memangnya apa yang ada di imajinasiku ? Aku tak berpikiran macam-macam. Karena sebelum kau membunuhku, aku akan membunuhmu lebih dulu" Jawab Zuni tak terima. Fakra menganga tak percaya. Saat gadis lain berprasangka bahwa ia akan diperlakukan 'macam-macam' oleh laki-laki yang membawanya, tapi Zuni memang unik, dia malah berpikir tentang pembunuhan. "Aih, apakah dia benar-benar gadis normal ?" Tanya Fakra dalam hati.
-Tbc-
KAMU SEDANG MEMBACA
B(er)imbang
RomansaCover : Pinterest Setelah lulus SMA, gadis itu ingin menjalankan semua rancangan masa depan yang sudah ia susun sejak lama. Ia penasaran bagimana menghadapi dunia luar yang katanya kejam. Dia bukan anak seorang kaya raya yang genius. Ia hanya gadis...