01 - Tentang Jingga

582 64 11
                                    

Pagi-pagi sekali biasanya Ucok dan Angga sudah menyambut. Pinjam tugas PKn yang menumpuk. Kalau lagi baik mereka hanya menyapa. Kalau bahagia, mereka akan menyembunyikan kacamataku di loker.

Lino sang penyelamat. Ia tak segan mengomeli Ucok dan Angga. Ya... walau berakhir dengan tawa. Sepertinya Lino sama-sama tak serius.

Di sini, Cindy dan Dayu yang paling dekat denganku. Tempat duduk Cindy dan Dayu sengaja dijauhkan agar tak ramai. Tapi Cindy bersyukur dekat denganku. Bisa 'kerja sama' katanya--aku tak tega jika tidak memberikannya jawaban.

"Ngga, nomor 17 apa?" Bisik Cindy.

"Nih lihat nih," ujarku sambil menyodorkan kertas jawaban ulangan Bahasa Inggris.

Kelas ini akan tertawa bersama walau kami duduk di tempat terpisah. Kadang berkelompok. Namun Angga dan Ucok itu memang tukang recok. Suka kaku perut ini kalau satu kelas kompak. Kadang ada saja foto aib yang menunjukan homo-nya mereka. Namun ku tahu itu hanya iseng-isengan agar kenangan kita beragam seperti warna pelangi.

Ketua kelasku namanya Chandra. Dia tukang tertawa saja. Sedikit kalem memang daripada kakak-kakaknya satu geng yang juga alumni sini. Ada juga Bintara cowok yang jika tersenyum matanya seperti bulan sabit. Chandra dan Bintara ini tetangga Cindy. Dari kecil mereka sudah bermain tanah bersama. Sama sepertiku dan Lino.

Hubunganku dengan guru baik. Aku bukan anak yang suka cari muka di depan beliau-beliau. Walau terkadang capai ketika guru selalu menyerahkan beban kepadaku seperti mengajari temanku, mengumumkan tugas dan lainnya.

"Jing! Pulang sama gue yuk!" Tawar Angga. Sudah biasa kejadian seperti ini. Ia pasti juga mengajakku nongkrong bersama Yuto dan Ucok.

"Sorry ya, Ngga. Tapi, Dira nanti dicariin Ibunya kalau lo ajak ke Pak Jams," Lino menengahi. Sejak kecil Lino memanggilku Dira. Karena aku menangis saat Lino memanggilku 'Jing'.

"Gue tau itu cuma alasan lo, No," ucap Angga sambil terkekeh.

"Kita balik dulu ya, Ngga," pamit Lino.

📚

Jarang aku melihat bapak dan Papa Lino mengobrol di pelataran surau. Bapak kerja di luar kota, pulang seminggu sekali. Papa Lino sibuk dengan kantornya. Lino sendiri sudah biasa menjaga mamanya di rumah.

Lino dengan girangnya membicarakan pertandingan futsal yang diadakan lusa bersama kedua bapak. Aku dengan beberapa gadis satu komplek memasuki surau dan lekas menata sajadah.

"Gue pingin lihat Lino tanding," ujar Ana gadis hitam manis berkacamata.

"Keren pasti. Jingga, lo kok nggak pernah nonton Lino sparing sih? Padahal dia nemenin lo olim terus," gerutu Rena tak terima.

Tak adil memang namun, kalau kehendak orang tua berkata lain aku harus menerima. Lino dengan sabar menggantikan bapak dan ibu menungguku olimpiade sampai asar, tanpa keluh kesah. Sebaliknya, aku yang tak tahu terima kasih ini bahkan tak pernah tersenyum ketika ia melirik ke tribun penonton.

Aku mencuri pandang ke luar jendela surau. Melihat Lino bercerita girang dengan bapak yang tersenyum manis atau Papanya yang tertawa menanggapi. Kadang di mataku Lino itu bocah. Maka dari itu urusan bujuk membujuk ia jagonya. Tapi sepertinya ia membujuk orang yang salah.

"Ya, mau gimana lagi, Ren... ibu nggak kasih ijin."

"Iri tau gue sama lo. Bisa deket sama Lino kebanggaannya emak-emak komplek," tutur Rena.

Mau bagaimana lagi, Lino memang tampan. Selain jago futsal, bidang akademiknya pun tak buruk. Namun lelah hati jika ia sudah dongkol.

"Waduh, Mbak Jingga nggak ada les ya?" Ujar salah satu dari gerombolan ibu-ibu yang biasa sholat di surau. Kebanyakan sudah lansia atau putra-putrinya sudah berkeluarga. Beliau-beliau sering terlihat di saf depan.

"Lesnya tadi sore, bu."

Suatu saat ketika aku menua. Pasti begitu. Pergi ke surau sambil membawa Al-Quran besar karena mata sudah tak dapat melihat jelas. Sebuah ketenangan.

"Eh, Ngga, Lino ngomong tuh," Rena mencolek pundakku.

Lino dengan mulutnya yang terbuka tanpa suara mengisyaratkan aku akan sesuatu. Namun aku membalas 'nanti aja' karena iqamah sudah dikumandangkan.

📚

Bisa dibilang hidupku monoton. Yang ku lihat hanya warna abu-abu saja. Ibu sudah membuat jadwal yang harus ku patuhi. Bahkan untuk hari minggu. Dulu saat kecil aku sangat bersemangat untuk mematuhi peraturan. Setelah pindah rumah dan bertemu Lino, mungkin tidak. Ditambah Bapak yang jarang pulang. Ku pikir menjadi sukses itu tak enak. Pernah aku merutuk dalam hati betapa nikmatnya hidup di keluarga Lino.

Dan ya... aku baru saja selesai merapikan dapur setelah makan malam. Sekarang adalah waktu belajar.

Jendelaku berbunyi saat aku sedang membuka-buka buku agama.

Dia Lino, berdiri dengan kudapan mengandung MSG. Ia melemparkan satu bungkus padaku setelah kubukakan jendela. Sebelah rumahku adalah gang kecil yang selebar sepeda motor lebih sedikit. Di seberangnya ada rumah Lino--kamarku dan kamar Lino berseberangan. Lino tak mau di lantai dua karena ia takut ketinggian. Kalau rumahku memang hanya berlantai satu.

"Bapak lo sudah bilang iya tuh," ucap Lino.

"Ibu?"

"Nurut pasti sama Bapak."

"Nggak, Lino."

Pernah terbesit niat buruk tapi selalu ku tepis. Akan ku coba bicara baik-baik dengan ibu. Kalau tak dibolehkan aku harap bapak bersedia membantu. Tapi kalau...

"Lo nggak mikir yang aneh-aneh kan?" Lino menginterogasi. Lino menyuruhku agar tetap menurut walau aku tak mau. Katanya jika aku menurut, kebahagiaan akhirat menanti.

"Nggak... hehe..."

"Ini pertandingan terakhir gue sih sebelum kelas dua belas nanti. Gue pingin banget lo nonton," ucap Lino dengan nada menurun.

Aku cuma melakukan hal yang kuanggap wajar seperti memakan kudapan yang diberi Lino. Tapi malah terlihat canggung sepertinya karena aku makan terlalu banyak saking gugupnya.

"Gue nggak maksa kok santai aja," ujar Lino dengan senyumnya itu.

"Gue usahain dateng, No. Gue sendiri juga pingin lihat lo tanding. Gue nggak pingin spam chat terus setiap lo tanding."

"Tidur. Makin dingin," ucap Lino. "Cepet tutup jendelanya!"

"Iya, iya, iya," jawabku sambil sedikit meremas bungkus camilan karena sedikit kesal.

Aku kembali duduk di meja belajar walau Lino mengintruksi tidur. Aku harus mematuhi Ibu dan tidur jam sembilan. Walau kadang aku tak benar-benar belajar dan malah melayang ke imajinasiku sendiri dan menuangkannya pada kertas. Ku sembunyikan semua kertas itu di dalam kotak bertumpuk dengan kertas bekas ulangan. Kalau ibu tau pasti sudah diomeli.

Suatu saat pasti ku berikan ke Lino.

𝑱𝒊𝒏𝒈𝒈𝒂 | ft. Lee Know ①Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang