Diam-diam aku pulang agar tak diketahui oleh ibu. Namun nihil. Sekarang aku di ruang keluarga dengan ibu dan amarahnya. Aku antara menyesal dan tidak menyesal. Aku masih ingat betapa bahagia Lino walau peluhnya sebiji jagung.
"Kamu kemana?!" Sentak ibu. "Kalau diajak ngomong jawab!"
"Nonton futsal, Bu."
"Kamu itu nggak pernah diajarin mbangkang. Siapa yang ngajarin?!"
"Bu--"
"Kalau dimarahi jangan bantah!"
Duh.
Untung bapak segera keluar kamar dan menenangkan ibu. Aku pergi ke kamar dan menutup pintunya rapat-rapat. Jendelaku berbunyi dengan sangat keras seperti ada orang yang mengetuknya. Kubuka dan kutemukan Lino yang berdiri di gang sempit itu.
"Ra, lain kali jangan begini ya," ucap Lino tiba-tiba. "Ibu lo juga khawatir."
Lino sudah tau. Pasti suara ibu keras sekali seperti ia membanggakan Lino saat arisan.
"Gue kira lo datang gara-gara udah diijinin sama ibu."
"Maaf."
"Gue mau ngomong ke ibu."
"Coba aja."
"Ibu itu tetap orang tua lo. Pasti mau yang terbaik. Kenapa lo nggak cerita ke ibu kalau lo juga perlu refreshing?"
Kututup mulutku rapat ketika Lino menceramahiku. Dia selalu tau semuanya. Dia bijak mengambil keputusan, dia baik, dan aku si pembuat masalah yang bodoh.
"Nggak papa, Ra. Lo nggak sepenuhnya salah, begitupun ibu lo. Mungkin lo nggak tau caranya ngomong ke ibu."
"Gue udah coba tapi nggak berhasil."
"Iqra', Ra. Baca. Baca suasana hati ibu lo. Mungkin lo harus buat teh sari wangi dulu biar bisa ngobrol santai," ucap Lino. Terdengar seperti lelucon, aku jadi tertawa.
"Nah, akhirnya ketawa kan," ucapnya.
📚
Bapak kembali ke luar kota untuk kerja subuh tadi. Ibu tak ada pergerakan di dapur, tapi beliau sudah menyiapkan roti meises di atas meja.
"Stok habis, makan roti dulu aja," ucap ibu tanpa ada rasa marah seperti sore kemarin.
"Bu, Jingga minta maaf ya," ucapku. Sedikit gengsi, malu jika ibu malah menertawakanku yang terdengar lemah ini. Meminta maaf pada orang terdekat justru lebih sulit.
"Nggak papa. Lino juga sudah bilang ke ibu," ucap ibu cuek seperti biasa. "Ibu yang terlalu maksa kamu, Ra. Ibu sadar kalau kamu itu anak baik, nilaimu juga bagus, kamu juga nggak pernah ninggalin kewajiban agama. Nggak seharusnya ibu ngelarang kamu main-main sama teman."
Aku mengunyah rotiku dengan haru sambil memperhatikan ibu berbicara. Benar kata Lino, kalau semua dibicarakan pasti bisa terselesaikan. Jika dulu aku bicara dengan ibu lebih awal mungkin masalahnya sudah selesai. Aku tersentuh dengan ucapan ibu. Walaupun aku sebisa mungkin menyembunyikannya dengan terus memakan roti.
"Bu aku nggak nyesel kemarin habis mbangkang, hehehe...," candaku untuk meredakan suasana yang mengharukan ini. Mungkin hanya aku yang merasakannya.
"Tapi tetep ya, Ra. Walaupun ibu longgar jangan lupa belajar," tutur ibu.
Aku benafas lega. Aku harus menngucapkan terimakasih pada Lino yang telah berbicara baik-baik dengan ibu.
"Terus Dira tetap boleh gambar kan?"
KAMU SEDANG MEMBACA
𝑱𝒊𝒏𝒈𝒈𝒂 | ft. Lee Know ①
Fiksi RemajaJingga, Lino, serta jendela pada senja Ft. Lee Know