"Nggak, belajar sana!"
Ibu menolak ijinku. Aku melihat bapak dengan mata memohon. Bapak mengangguk. Mungkin ibu akan dibujuknya nanti.
"Yaudah Jingga berangkat dulu."
Rasanya mau menangis saja. Aku mengucek mataku pelan, sudah menjadi kebiasaan buruk di pagi hari. Lino sudah menunggu di depan pagar rumahnya. Aku naik motor Lino tiba-tiba. Membuat Lino menoleh.
"Kenapa, Ra?"
"Ngantuk," dustaku.
📚
"Ngga, nggak nonton Lino?" Tanya Dayu.
"Kita mau nonton nih, bareng Chandra sama Bintara," lanjut Cindy.
"Nggak, hehe..."
"Nggak dibolehin ibu ya?"
"Tuh tau."
Cindy dan Dayu pamit pergi. Sedangkan aku masih menyalin catatan dari buku paket. Lino juga sudah berangkat dari tadi.
Aku membereskan barangku setelah menyelesaikan tugas menyalin. Setelah aku mengangkat tote bag-ku, Angga datang sendirian. Mencegahku pulang.
"Bener nggak mau nonton? Nggak nyesel?"
Hebatnya aku menurut.
📚
"Untung belum selesai," ucap Angga.
Kami duduk di salah satu kursi. SMK X memang besar. Murid-muridnya juga terlihat dari keluarga yang baik pula. Mereka semua pasti pintar.
Aku mematikan ponselku. Takut jika dihubungi bapak, khususnya ibu. Aku siap dimarahi, karena bagaimanapun juga yang kulakukan ini salah.
"Muka lo serius amat nontonnya. Nyari Lino? Tuh dia di sana," Angga menunjuk satu lelaki yang menggiring bola. Bahkan mataku tak lepas darinya. Hingga tak sadar kemarahan ibu mulai tak menghantui pikiranku.
Lino melihat ke arah bangku penonton setelah mengoper bola. Melihat ke kerumunan kelasku yang jauh dari tempatku duduk. Hingga Cindy menunjuk ke arahku. Mungkin Cindy sadar aku hadir dengan Angga.
Lino mendongak. Kami saling menatap. Oh, astaga seperti sinetron. Aku tersenyum canggung sambil melambai. Lino ikut tersenyum. Apa aku meraih mimpiku? Tersenyum pada Lino ketika ia bertanding?
"Angga, gue mau ke toilet dulu," ucapku.
"Heem... hati-hati," ucap Angga cuek. Aku baru sadar kalau Angga bisa sefokus itu menonton bola. Pasti ia salah satu suporter heboh ketika menonton siaran langsung bola.
Aku mencari toilet. Sampai kuputuskan untuk bertanya pada satu gadis yang terlihat tergesa-gesa. "Maaf toiletnya dimana ya?"
"Di gedung sana di pojok lorong," ucapnya.
"Makasih--" sesaat ku melihat bet yang ada di jasnya. "--Pelangi," ucapku ragu karena namanya yang unik.
"Ah--" gadis itu melirik betku. Astaga kita mirip. "Sama-sama, Jingga."
📚
Aku ikut bekumpul dengan teman sekelas. Cindy heboh bukan main, ia berpura-pura merajuk karena aku tak mau diajak pergi menonton futsal bersamanya. Ia bilang aku ngeles tak diperbolehkan ibu menonton. Sebenarnya aku jujur, tapi ketika dihadapkan pada pilihan yang sama setelah sekian waktu aku mulai berubah pikiran.
"WEEE LINO...!" Sapa Ucok, ia hampir saja memeluk Lino jika Lino tidak mendorongnya dengan decakan kesal.
"Wih semangat nih mainnya sampai kaya gitu keringatnya," ujar Chandra.
"Yakan dilihat live sama--"
Lino menutup mulut Dayu. Aku penasaran kenapa Lino begitu dekat dengan Dayu.
"Datang sama siapa?" Tanya Lino.
"Angga."
"Oh," ucapnya singkat. Ia meneguk air mineral sampai habis lalu kembali berucap, "diijinin kan sama ibu? Apa gue bilang."
"Ehm--btw selamat ya lo menang. Gila hebat banget temen gue," ucapku girang mengalihkan pembicaraan soal ibu. Sedikit takut dalam hati kalau Lino sadar aku tak ingin membahas ibu. Kau tau kan bagaimana seorang teman yang sudah dekat dari kecil. Mereka peka satu sama lain.
"Lo nggak tau ya temen lo ini emang udah jago dari kecil."
Terima kasih semesta kau membantu Jingga yang malang di senja hari ini.
"Woi, kalian berdua sampai kapan pacaran? Ayo pulang udah sore!" Ucap Kiara.
Di perjalanan pulang Lino bilang padaku. Kalau ia senang aku menonton. Sedikit memalukan dan lebay memang. Tapi bukankah lebih lucu jika Lino menatapku bukannya membelakangiku sambil menyetir.
KAMU SEDANG MEMBACA
𝑱𝒊𝒏𝒈𝒈𝒂 | ft. Lee Know ①
Teen FictionJingga, Lino, serta jendela pada senja Ft. Lee Know