Semalam aku sedikit tidak menikmati pesta ayamnya, walaupun rumah sangat ramai dan anggota futsal selalu bersemangat—apalagi soal makan gratis. Tak jarang aku ke kamar dengan alasan meninggalkan ponsel, padahal hanya ingin mengecek jendela kamar Dira sampai lampunya mati, tanda ia sudah terlelap.
Hari ini aku bersikap cuek pada sahabatku. Ia bertanya ku jawab, tidak pun aku diam.
Tapi, mengapa aku harus kesal? Aku tidak tahu apa yang terjadi waktu itu seharusnya tidak boleh begini.
"Kemarin berhasil?" Tanya Dayu. Ia memakan permen sambil berjongkok dengan ponsel di tangannya. Anak ini sedang bermain PUBG dengan Bintara dan Ucok.
"Berhasil apaan?" Sahut Ucok tetap fokus dengan ponselnya.
"Bukan urusan lo," ujar Dayu.
Sedangkan Bintara yang misuh-misuh karena hampir mati.
"Nggak," jawabku pasrah.
"HAH?! KOK BISA?"
"Jangan keras-keras!" Sentakku.
"Utang penjelasan ya lo."
Aku mengangguk. Mengingat kejadian kemarin, aku menyesal memakan ayam Dira. Selain pedas juga karena itu spesial. Aku bahkan mencari bumbu gochujang di seluruh kota malam-malam demi ayam spesial itu. Seakan kenangan itu aku makan habis. Tak ada yang bisa kujadikan 'harta berharga' di kemudian hari.
"Ada apa sih Si Lino?" Tanya Bintara.
"Biasalah."
"Keselek tulang ayam?"
"Yoi, ini mau gue keluarin," jawabku.
"Jijik," sahut Dayu.
Aku menghembuskan nafas berat lalu pergi ke toilet. Di sana aku bertemu Angga. Kami saling tatap. Aku melewatinya cuek lalu masuk ke salah satu bilik.
Keluar-keluar ia masih di toilet ternyata.
"Lino," panggilnya saat aku mencuci tangan.
Niatku yang ingin diam tak jadi karena Angga mengangkat suara. "Hm?" Gumamku.
"Jingga suka lo."
"Kalau nggak suka gue bukan sahabatnya dari kecil, Ngga," aku terkekeh setelahnya.
"Kalau gitu dia sayang sama lo."
Aku hampir mendapatkan serangan jantung. Kalau sedang makan ayam, saat ini mungkin aku benar-benar tersedak tulangnya.
Aku menatap Angga sengit. Seperti tidak percaya dengan apa yang ia katakan. Secara, selama ini Angga tak pernah menunjukkan keseriusannya kecuali saat ulangan.
"Jangan jahil."
"Serius gue," sebuah keajaiban Angga melontarkan kalimat semacam ini.
Aku menutup keran lalu mengambil tisu untuk mengeringkan tangan dan ku buang ke tempat sampah.
"Kemarin gue antar Jingga pulang. Sempat ke Pak Jams. Tapi dia nggak betah. Keliatannya mikirin lo, dan dugaan gue bener. Selama perjalanan gue dipanggil 'No' mulu," jelasnya.
Cerita Angga mengingatkanku pada kejadian Dayu. Aku memanggil gadis itu dengan 'Dira'. Ternyata kita sama-sama tidak terbiasa. Aku merasa sedikit....
....senang?
"Jangan cuekin dia. Dia sayang sama lo," ucap Angga yang membuatku kaget dua kali lipat. Ia menyadari tingkahku yang dingin hari ini. "Gue bisa ngomong gini soalnya kelihatan jelas."
"Maaf, bro," ucapku menepuk punggungnya.
"Santai. Tapi kalau lo gini-gini aja ya... tau sendiri," Angga melirikku. Begitupula aku yang meliriknya, merasa resah.
Kami sama-sama menghela nafas.
"Ribet banget sih," gumam Angga yang dapat kudengar.
⚽️
Hari ini aku melupakan semua kejadian buruk tempo hari. Seperti biasa aku menjemput Dira di rumahnya, bahkan aku menyempatkan diri untuk mengobrol dengan Ibu di teras.
"Kata Mama kamu habis galau," ujar Ibu.
"Wah... Mama ember," ucapku. "Masalah anak muda, Bu," jawabku sok tua.
"Ibu nggak ikut campur deh kalau gitu."
Dira sudah keluar rumah. Aku bersikap biasa padanya, walau sempat berbasa-basi bertanya kemana saja ia dengan Angga—berpura-pura tidak tahu. Sebisa mungkin aku menjadi teman yang easy going seperti biasanya.
Sekarang, setiap melihat wajah Dira terkadang aku mengingat ayam dan saus gochujang. Masih merasa bersalah.
Dira mengucapkan terimakasih padaku, katanya telah membuat Ibu jinak. Tapi itu bukan masalah memang. Sebagai sahabatnya aku rela menolong. Hanya hitungan detik aku akan datang jika Dira membutuhkanku.
"...Lo bisa nggak ke lapangan dekat mushola nanti jam lima?"
Pertanyaan itu sontak membuatku berdebar. Padahal hanya pertanyaan efeknya bisa segila ini. Melihat wajah serius Dira jantung ini semakin menjadi.
"Bisa kok. Eh, tapi lo nggak ada jadwal les?" Aku balas bertanya. Mengatakan ini saja aku mati-matian menyembunyikan gugupku.
"Iyaya, minggu deh minggu."
Ada apa? Dira merencanakan apa?
⚽️
Aku sedikit mengucapkan uneg-unegku pada Dira tadi di jendela. Memang tak ketara jelas, namun aku yakin Dira dapat memahaminya. Ia gadis pintar.
Pokoknya aku tak ingin keduluan oleh Angga. Kalaupun Angga mendahului, aku harap Dira menolak.
Aku menatap langit-langit kamar.
Ayam Dira sudah kuhabiskan. Tinggal buku. Aku juga tidak yakin kapan akan menyatakan perasaanku padanya, karena kemarin tertunda sebab diriku yang mementingkan diriku sendiri ini.
Sebenarnya apa yang akan Dira lakukan minggu sore? Di tempat pertamakali kita bermain.
⚽️"Jingga ngajak lo ketemuan di lapangan?" Tanya Dayu sedikit tersentak. Ia mengangguk-angguk seakan paham. Gadis itu meminum teh kotak sambil memainkan squishy milik Kiara yang ia rebut dari Ucok beberapa menit yang lalu.
"Menurut lo dia mau ngapain?"
"Nembak lo kali."
Aku diam tak bergeming.
Tidak boleh!
Aku harus menembak Dira terlebih dahulu.
"Jangan tegang. Gitu aja kok."
"Enteng banget mulut lo," aku berkacak pinggang.
"Sabar. Kisah lo indah kok."
"Sok tau kaya cenayang," ejekku.
Aku tak tahu angin apa yang menyebabkan Dayu begitu yakin akan hubunganku dengan Dira. Namun aku berterimakasih akan kalimat positifnya itu.
"Aamiin-in gitu kek, jangan ngejek," Dayu merengut.
"Aamiin," gumamku.
"Semangat!" Ucap Dayu. "Kalau lo jadian kan gue dapet pj gitu."
"Walah, ada maunya lo."
-
Sebentar lagi sudah selesai bonusnya hehe...
KAMU SEDANG MEMBACA
𝑱𝒊𝒏𝒈𝒈𝒂 | ft. Lee Know ①
JugendliteraturJingga, Lino, serta jendela pada senja Ft. Lee Know