Hai Senja - 12

15 1 0
                                    

Aku rela Bunda bahagia, dia juga sudah lelah mengahadapi semua ini dan mungkin berpisah adalah yang terbaik untuk ayah dan bunda. Ayah terduduk diruang tamu dengan pandangan yang kosong menatap bingkai bingkai foto yang terpajang di dingding. Seakan matanya berbicara suatu hal bahwa dia juga sedih akan perpisahan dengan bunda. Aku hanya menatapnya dan berlalu, karena aku tidak tau harus berada diposisi siapa.

Ayah yang aku kenal dengan ketegasannya terlihat sangat terpukul hari ini. Tapi aku tau satu kalimat yang bisa menyemangati diriku kembali, berpisah bukan berarti membenci dan aku tetaplah anak mereka berdua. Aku bergegas menuju kamar tanpa menegur ayah sedikitpun.
Ku lihat foto kecil ku disaat kak Revan dan Heny masih ada. Revan adalah kakakku yang paling tua dan Heny adik bungsuku, aku mungkin belum pernah bercerita tentang mereka, karena cerita seputar mereka hanya membuat aku semakin menyalahkan diri sendiri.

Revan dan Heny meninggal karena ingin memenuhi permintaanku. Sewaktu aku kecil, aku sangat senang bermain di pantai, melakukan olahraga air sampai berlayar dengan kapal. Tapi diantara kami bertiga hanya akulah yang mahir berenang. Aku mengajak mereka tapi aku tahu mereka tidak mau sama sekali, tapi karena ingin menyenangkan hatiku, mereka rela ikut menaiki kapal bersamaku. Menaik kapal memang hal yang biasa, tapi pada saat itu aku menantang mereka untuk tidak menggunakan pelampung. Aku masih ingat apa yang kuucapkan ke kak Revan hari itu,

"Kak revan, jangan pake pelampung dong. Kan cuma keliling keliling doang, mending pelampungnya dilepas aja. Lihat ruby nih, ruby berani." sahutku ke Kak Revan yang baru naik ke kapal.

"Hmm, yaudah deh. Heny sini sama kak Revan aja, takutnya jatuh" balas kak Revan sembari mengajak Heny untuk duduk disamping nya.

Kami sangat bahagia waktu itu, tertawa bersama. Ayah dan bunda ada dipinggir pantai untuk bersantai, mereka tidak tahu kami sedang menaiki kapal bersama. Aku sengaja tidak memberitahu bunda karena pasti tidak dibolehkan jika aku minta izin.

Tapi nasib sial menghampiri perjalanan kami hari itu, ombak berlalu lalang datang dengan tekanan yang cukup tinggi menghempas hempaskan semua kapal yang sedang berlayar dipantai, termasuk kapal yang kami naiki saat itu. Ruby dikala itu sangat senang apabila muncul ombak kuat, malah tertawa kegirangan tanpa merasa takut sama sekali. Sedangkan Kak revan sudah mulai panik ditambah dengan Heny yang selalu memanggil bunda.

Semburan Ombak pun mulai masuk perlahan kedalam kapal menjadikan kapal terisi air. Seisi kapal mulai panik dan bergegas menyelamatkan diri, tapi hal tersebut tidak bisa dilakukan mengingat kapal sudah berada tepat di Tenga laut. Aku yang sedari tadi kegirangan berubah menjadi pucat, kak Revan menarik dan mendekap aku dan Heny.

"Ruby, pegangan sama kakak jangan sampai lepas dari tangan kakak" teriak kak Revan sembari menutup mata Heny yang sedang ketakutan.

"Kak, pakek pelampung ini biar kita aman." suruhku sambil memberikan pelampung kapal kepada kak revan.

Ombak pun datang kembali dan menggoyangkan kapal sehingga pelampung yang ku pegang terjatuh ke lautan. Pelampung itu pun berlalu dengan cepat dibawa arus laut yang sudah tidak stabil. Air didalam kapal pun semakin meninggi yang kelihatannya perlahan lahan mulai menenggelamkan kapal.

"Kak revan, ruby takut."

"Udah udah, ruby jangan malah takut gitu dong, kan diantara kita Ruby yang jago berenang sampai sampai juara tingkat kota, masa gini aja takut ?" kak Revan menenangkan ku.

Hai SenjaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang