Namanya Kim Rinna dia tiga tahun lebih muda dariku. Tapi, pikirannya sungguh sudah kelewat matang dibandingkan denganku.
Aku mengenalnya karena ia adik dari salah satu sahabatku;Kim Taehyung.
Sikapnya amat baik. Lemah lembut penuh kasih sayang. Tae, juga yang terkenal dengan social butterfly. Mereka sama-sama ramah juga terkenal dengan sebutan Einstein. Tipikal orang yang gampang disenangi dan asik untuk dijadikan teman serta dengan otak kelewat jenius. Meskipun ku dengar keluarga mereka mengalami semacam-bagaimana ya, seperti suatu yang tidak lazim serta berbanding tak lurus dengan segala perangai yang termanivestasi dalam diri Rinna sekalipun Taehyung.
Karena keseluruhan hal tersebut aku kagum pada mereka. Terutama pada Rinna. Buka sekedar kagum, sih. Lebih mengarah ke dalam suatu perasaan yang lebih spesifik.
Maka dari itu , aku tak akan membiarkan sesuatu yang amat ku sukai lepas dari kepemilikan ku. Jadi, sewaktu Rinna masuk SMA kemudian mengikuti pendidikan akselerasi dan lebih wow nya lagi. ia bisa berada ditingkat
yang sama dengan diriku.Saat itu akupun menjadikannya sebagai kekasih ku. Menjadikan diriku sebagai satu satunya yang berkuasa atas rasa dalam hatinya. Terkesan pemaksa. Tapi, masa bodoh. yang penting ketika aku menyatakan hal itu lantas ia mengukir segaris senyum tipis dan mengangguk.
Sesederhana itu. Padahal aku tak pernah mau peduli terhadap apa yang tengah berkemelut dalam batin dan relung pikirnya.
...
Berselang tiga bulan kemudian, orang tuaku tertimpa hal yang begitu naas;mobil yang mereka kendarai dari Daegu mengalami kecelakaan. Tak satupun dari mereka yang selamat. Aku menangis-pun meraung juga mengalami depresi.Peristiwa itu sungguh menghancurkan seluk beluk kehidupanku. Aku tak lagi mengenali siapa sebenarnya diriku.
Tapi, gadis itu datang. Mencariku langsung di rumah. Karena mendapati berhari-hari sudah aku tak membawa diriku hadir ke sekolah.
Ia mendobrak paksa pintu. Kesulitan; ia pun memecah kaca jendela. Meneriakkan namaku dengan lantang. Menemukan ku yang sedang meringkuk di lantai kamar dengan keadaan yang mengerikan.
Dia hanya memelukku. Mengelus punggungku. Membawa ku bangkit untuk duduk di atas kasur. Memberikan diriku rengkuhan yang menyelamatkan, begitu hangat. Euforia yang sangat indah. Seperti tidak ada siapapun yang mampu mencintai dan memahami ku selain dirinya.
Rinna membuat ku bangun dari seluruh kekelaman yang menghantuiku.
...
Saat itu, dihari kelulusan. Ia dan aku tentu telah sedemikian lama menunggu hari ini. Paman Park-pun menjadi wali murid untukku.
Rinna duduk menyendiri;.paling pojok,diantara seluruh siswa di kelasnya.
Kupikir ibu atau mungkin ayahnya yang akan datang. Mengingat Taehyung tengah menempuh pendidikannya di Seoul. Tentu orang-orang pintar sepertinya akan mendapat beasiswa beserta jaminan hidup yang menjanjikan sebab kejeniusan otaknya.
Tapi, ketika nama Kim Rinna diperdengarkan ke seluruh penjuru aula. Ia langsung berjalan menuju podium. Tanpa ditemani seorangpun.
Aku tentu kebingungan. Bagaimana bisa ada orang tua yang tega untuk tidak menghadiri hari kelulusan anaknya. Barang seorangpun.
Tetapi, dalam sekejap semua kemelut batinku pudar. Ketika mendengar pembawa acara mengucapkan serangkaian kata yang menjadikan pikiran ku melambat.
"Kim Rinna. Siswi dengan nilai terbaik di sekolah yang meskipun orang tuanya telah tiada tetap mampu mendapat pencapaian yang memuaskan. Patut kita apresiasi seluruh prestasinya ini."
Riuh tepuk tangan memecah keheningan. Waktu seakan berhenti. Senyum indah itu seakan tak dapat luntur dari bibir Rinna.
Akupun baru menyadari. Bahwa, kenapa seminggu yang lalu guru di kelas meminta seluruh siswa dikelasku berdoa untuk kematian orang tua salah satu siswa kelas lain. Dan, kenapa kabar bahwasannya ada orang tua salah seorang murid melakukan tindakan bunuh diri langsung di depan mata murid itu berdengung di seantero sekokah.
Sungguh luar biasa. Bagaimana bisa dihari itu aku mengajak Rinna untuk jalan-jalan. Padahal ia sedang berbela sungkawa atas tragedi dan kematian orang tuanya.
....Bahkan, ia terlihat sangat. Uh, betapa kuatnya batin gadis itu.
Ia hanya seorang gadis. Sesungguhnya lumrah bagi gadis akan menangis, bahkan melakukan bunuh diri bilamana hal semacam ini terjadi dikehidupannya. Sedangkan Rinna. Ia hanya bungkam dengan tak membiarkan seorangpun ikut merasakan kesedihan yang menimpanya.
Akupun hanya mampu menggumam dengan amat lirih.
"Hei Rinna kau ini wanita atau baja, sih?"
Hatimu bisa sekuat itu. Aku sangat malu dan membenci diriku. Karena tak mau peduli perihnya kepedihanmu. Dimana diriku yang berjanji selalu berusaha ada untukmu sedangkan kau tengah berjuang dengan keras sendirian untuk membangun benteng ketegaranmu.
TBC