Hubungan kami telah berjalan kurang lebih sekitar tiga tahunan. Melewati sekian banyaknya prahara yang terkadang menjadi kerikil penguji ketetapan rasa yang ada dalam masing-masing hati kami.
Kami menempuh sendiri jalan impian kami. Ia dengan pendidikannya untuk mencapai gelar profesor di bidang spesialis Hematologi yang beberapa hari lagi akan menyelesaikan perjalanan kuliahnya hanya dalam empat tahun. Bahkan, dia belum genap dua puluh tahun dan sebentar lagi menjadi seorang dokter dengan catatan pengalaman yang memumpuni. Terkadang aku membatin. Selama 21 tahun hidupku ini aku kemana saja?
Akupun juga begitu. Sibuk menjadi produser musik dari salah satu agensi yang besar.
Sama-sama memfokuskan diri terhadap urusan pribadi tak membuat ikatan kami merenggang. Malah semakin membahagiakan.
Karena itulah hatiku juga semakin mantap untuk menjadikannya seutuhnya hanya untuk diriku.
Saat hari kelulusan tiba. Ia mendapat banyak sekali penghargaan. Seakan mengulang kembali kejadian beberapa tahun lalu di SMA. Seperti film mono yang teramat kelam. Pun namanya diperdengarkan lagi ke seluruh penjuru ruangan megah ini.
Aku datang sebagai walinya. Memandang dengan sebegitu bangga. Apalagi ketika gelar cumlaude disematkan dalam namanya bersama dengan penghargaan lain yang menyusul.
Senyumnya masih sama manis. Semakin bertambah manis dengan gurat kedewasaan yang terbentuk dalam pribadinya.
Setelah rangkaian acara lain yang menurutku membosankan sudah selesai. Akupun segera menghampiri Rinna.
Memberikan sebuket bunga. Entah apa jenisnya yang pasti akan tetap cantik bila disandingkan dengan Rinna.
Ia berjinjit berusaha memelukku. Karena terlihat kesulitan aku mengangkat pinggangnya dengan tanganku yang mengakibatkan ia tersentak lalu tanpa sengaja mengecup bibirku.
Ia langsung menunduk malu. Rona merah bersemu di sebagian pipinya.
Menambah gemas saja. Aku jadi ingin sekali menerkamnya.
Lantas, dengan sekali pijakan. Aku berlutut di depannya. Merogoh kotak kecil dengan beludru berwarna biru gelap. Perlahan membukanya. Menunjukkan padanya sebuah cincin perak dengan berlian putih di tengahnya. Pertanda bahwa aku telah dengan penuh kesiapan sangat ingin sekali meminangnya;menjadikan dirinya mutlak seutuhnya untukku. Dan selamanya.
Ia tersenyum. Masih senyum sama. Disertai beberapa bulir air mata yang berjatuhan dari pipinya.
Dengan pasrah ia membiarkan cincin mungil itu ku pasangkan di jari cantiknya.
"Ini sungguh sederhana, Sunbae. Tapi, sumpah ini benar nyata, kan?"
Aku hanya membalas dengan ciuman panjang dibibir. Dan menggapai telapak tangannya yang kian memucat.
Semakin memucat.
TBC