Prolog: Refuge beneath the leaves

31 7 0
                                    

"Cepat! Cepat!"
"Jangan berhenti, mereka semakin dekat!"
"Mereka semakin dekat!" 

Derap kaki yang rancak membuat gaduh suasana hutan belantara yang biasanya sunyi. Dini hari, bahkan matahari belum terbit seutuhnya. Namun ketegangan dan ketakutan telah mencekam jiwa-jiwa pelarian yang berada di ujung tanduk.

Entah berapa lama kaki-kaki telanjang itu mampu menahan lelah dan luka akibat tergores-gores rantng dan bebatuan saat berlari. Entah berapa lama mereka dapat bertahan sebelum tersusul oleh pasukan berkuda yang berada tepat di belakang mereka. 

Sekencang apapun mereka berlari, pasukan itu masih tetap berada dalam jarak pandang.

Semakin dekat sedikit demi sedikit. Suara derap kuda kian terdengar jelas, beserta seruan-seruan para prajurit itu.

"Hei kalian! Berhenti atau kami akan menyiksa kalian sampai tewas begitu tertangkap!"

Persetan dengan teriakan itu! Mereka tidak sudi terpenjara dalam kesewenang-wenangan peguasa! Menyerah ataupun tertangkap, hasilnya sama saja, mereka akan tewas mengenaskan!

"Jangan dengarkan mereka, kita harus tetap bergerak!" seorang pria dari kaum pelarian berseru. Sesekali ia akan memperlambat lajunya untuk mendorong kawan-kawannya untuk berlari lebih cepat. Mereka masih bisa kabur, mereka pasti masih bisa!

Gusrak!

Wanita yang berlari di depannya terjatuh. Tersandung kain kumal yang menjadi bagian bawah pakaian. "Isabel!" pria itu mencoba menarik wanita itu untuk bangkit, dibantu oleh kawan sepelariannya yang berbalik untuk menolong. Tapi erangan kesakitan membuat mereka terhenti.

"Aku... aku tidak bisa," Isabel menunduk dengan wajah ketakutan, tapi pasrah. Ia memandangi darah yang mengalir dari kakinya. "Pergilah tanpa aku! Kalau kalian berhenti, semua akan tertangkap!"

"Mana bisa! Kau mengandung, Isabel. Bayangkan kekejaman apa yang akan mereka perbuat pada janinmu!" bantah sang pria. Ia segera memerintah teman yang lebih besar untuk menggendong wanita yang sudah lemas itu. Pria yang lain ragu-ragu meskipun tidak menolak. 

"Cepat lakukan, Walter! Apa yang kaupikirkan?!"

"Isabel harus segera diamankan!" seru seorang wanita lain yang sedang bersusah payah membantu Isabel berdiri. "Ia bisa kegugura-"

"Lantas?? Memangnya itu akan membantu? Isabel benar! Ia tidak bisa lagi melangkah lebih jauh. Kalau aku membopongnya, kita akan lebih mudah terkejar!" tukas Walter tertekan, membungkam yang lain. Tidak heran, menggendong seorang wanita mengandung jelas akan menghambat larinya. Hampir sia-sia. Tapi hardikan menyentak pria itu hingga tertegun.

"Lakukan, Walter!!"
"T-Terrowin..."

Bahkan Walter pun tak berani membantah saat Terrowin mulai meninggikan suaranya. Ia menginginkan sesuatu, ia akan mendapatkannya. Saat ini ia tidak ingin satupun temannya tertinggal, hingga Walter hanya mampu mendecakkan lidah dan dengan tangan gemetar, menyambut Isabel untuk dibopongnya.

"Baiklah, ayo kita cepat bergega- Terrowin?!" wanita yang lain terpekik kaget saat Terrowin berlari. Namun alih-alih menjauh dari pasukan berkuda, ia justru seakan menyongsong mereka.

"Pergi, Emeline! Cepat pergi! Biar aku mengalihkan perhatian mereka! Segeralah kalian lari!"
"Terrowin!"

Tidak digubrisnya lagi teriakan wanita itu. Terrowin, pria tua itu, mengambil beberapa bongkah batu yang berada pada jalannya, lalu dilempar kepada mereka sembarang. Hanya untuk mengalihkan perhatian. "Kejar aku kalau bisa, bedebah!" serunya. Lalu berlari memisahkan diri dari kawannya.

Benar saja, tidak ada yang tidak akan mengincar mangsa terdekat dan paling mudah dijangkau. Mereka beralih mengejar pria itu, bahkan tertawa dengan senang melihatnya. Terrowin sudah kepayahan. Satu lawan sekian, bisa apalagi dia? Dia hanya menunda akhir untuk rekan pelariannya, tidak lebih dari itu.

Tidak lebih dari itu.

Terrowin semakin merasakan nyeri pada sekujur tubuhnya. Abaikan, abaikan, ia harus tetap berla-

"Ugh!" kram menyerang kaki tiba-tiba, menjatuhkan tubuh tua dekilnya pada tanah dengan bunyi berdebam. Dasar tubuh tua lemah, rutuknya dalam hati. Ia hanya mampu melihat dengan pasrah saat kuda-kuda itu berjalan mengitari sebelum berhenti. Ia dapat merasakan cengkraman kuat pada batok kepalanya menariknya untuk duduk menghadap pimpinan pasukan pengejar itu.

"Sudah habis tenagamu, hei, Kereta Tua?" salah seorang prajurit lain terkekeh dan turun dari kuda. "Menyusahkan saja kau ini."

"Tidak tahu diri, sudah rapuh, masih saja mau menentang Raja. Kabur pula!"

"Yang penting takkan kubiarkan mereka menderita di bawah rezim kejam penguasa jahanam itu!"

"Memang siap mati kau, Tua Bangka!" prajurit itu mendekatinya dan siap menendang. Terrowin hanya mampu menutupi wajah dengan lengan, siap untuk serangan menyakitkan. Tapi tak ada tekanan sedikitpun yang menghampiri wajahnya. 

Heran, ia menurunkan lengan.

"Ugh- rumput-rumput sialan menjerat kakiku! Lebat juga mereka ini rupanya."

Sebelum prajurit itu sempat mengangkat kakinya, sebuah batu berukuran sedang menghantam kepalanya dari samping. Jeritan kesakitan terdengar nyaring di telinga Terrowin, bersamaan dengan tubuh ambruk di hadapannya. Dalam sekejap, darah sudah terlihat menggenangi tanah berumput.

"Siapa itu?!" bentak prajurit di belakang, sementara yang lain menyiapkan senjata. Siap mengoyak pendatang baru. Dua dari mereka mendekati arah lemparan batu sebelumnya, hanya berakhir dengan satu lagi korban yang dihantam batu dengan ukuran yang sama dari arah lain. Tentu tidak mematikan, tapi cukup untuk membuat kedua korban kehilangan kesadaran dengan kepala terluka.

Hening.

"Hoo, kau teman si Tua ini ya?! Mau menyelamatkan dia? Maju sini kalau tak ingin kupenggal kepalanya sekarang!"

"Jangan! Emeline, Walter, menjauhlah dari-argh!" sebuah tamparan keras membungkan Terrowin dengan segera. Rambutnya lagi-lagi dijambak dan pedang ditekankan pada leher keriputnya. 

"Keluar cepat!!" 

Kali ini sebuah suara halus namun datar membalas. Angin yang berhembus membuat suara itu seakan-akan bisikan angin.

"Mereka berkata..."

Dak!

"Mereka berkata padaku..."

Sepotong tangan menyibak dedaunan, membongkar tempat persembunyiannya sendiri. Seorang pemuda duduk pada dahan kokoh di belakang mereka, kedua tangannya mengenggam bebatuan yang menjadi senjata. Seperti yang digunakan manusia purba.

Terrowin menoleh pada sumber suata begitu merasakan pedang penyandera justru jatuh pada pangkuannya, beserta bunyi berdedam di belakang. 

Kedua mata amber terang, yang terlihat janggal bagi Terrowin, menatap korban baru tanpa emosi. Wajah dekil kusam itu terlihat tanpa emosi. Bahkan suaranya pun tanpa emosi. Kepalanya ditelengkan, seakan ia sedang mendengarkan seseorang. 

"Dia adalah seorang pembimbing."

Sebuah kampak melesat ke arah wajahnya, namun pemuda bermata janggal itu terlalu cepat untuk diserang. Ia berkelit, nyaris tak terlihat, dan kedua kakinya telah menjejak ke tanah dengan mulus. 

Kedua mata amber itu melirik pada Terrowin sesaat sebelum beralih kembali kepada lawan. 

"Maka aku diutus untuk melindunginya dengan nyawaku."


***

Yaaay, revised!

Untuk menyesuaikan dengan jalur cerita juga agar tidak terkesan diselip-selipin

Read+vote+comment, thank you!

Aegis of the ForestTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang