A Vow

12 5 1
                                    

Seminggu sejak kejadian pengejaran itu. Luka-luka fisik yang terpeta pada tubuh mulai memudar dan memudar. Darah yang mengalir terhenti dan tertutup.

Tapi rasa takut yang menghantui mereka tidak juga berakhir.

Seminggu penuh, keduanya terlihat seperti keramik yang baru di lem kembali. Amat rapuh, satu sentuhan saja mungkin dapat membuat satu potongan tergeser bahkan lepas. Tak ada yang tega melihat keduanya begitu terguncang dengan trauma, berbagai cara dicoba untuk mendekati mereka. Namun apa daya, mereka lebih memilih menutup diri di balik pintu rumah.

Denver yang biasanya periang dan sangat bak sinar matahari, kini menjalani malam-malamnya dengan tersentak bangun dan menangis akibat mimpi buruk. Kilatan tombak dan tangan kasar pemburu terbayang-bayang tiap kali dirinya terlelap. Teman-temannya menjenguknya, pak tua Cedar menghadiahi nya mainan yang terbuata dari kayu. Ia membalasnya dengan senyum bersyukur, sesuatu yang ia tiru dari Darya. Tapi sepasang kantung mata dan mual setiap sang ibu asuh menyuapinya merupakan bentuk kerusakan yang tak mampu ditutupi oleh si bungsu.

Darya mengalami hantaman mental yang sama. Sejatinya, ia memang pendiam serta sibuk menyendiri dalam dunianya sendiri, tapi setelah kejadian, ia seakan mengalami gangguan bicara. Hampir setiap waktu ia membisu. Si sulung masih sering termenung seperti sebelumnya, namun kali ini, ia tampak tenggelam terlalu jauh dalam pikirannya. Lima kali panggilan, ia tak merespon.

"Darya," panggil Favian Aria dengan halus suatu ketika ia menjenguk si sulung. Darya hanya mengalihkan pandangan dari kedua punggung tangannya sendiri, yang diletakkannya di atas paha. Kedua pupilnya sedikit melebar manakala Favian bersurai sewarna kastanye itu memegang sarung tangan yang ia tinggal dalam hutan. Masih dengan daun beracun yang tersemat pada telapak.

"Aku terpaksa... sangat terpaksa, Nona Fa-"
"Kami mengerti, Darya. Kau tidak bersalah akan hal itu. Jangan khawatir."

Tangan Aria kembali dengan lembut mengusap rambut hitam Darya. Bagaimana bisa wanita yang begitu lembut hati memimpin hunian dengan begitu mantap? "Aku hanya ingin bertanya, bagaimana kau bisa mengetahui betapa mematikan dampak dari daun ini, sehingga kau cukup percaya diri menggunakannya untuk menjatuhkan dua pemburu besar," Aria terdiam sejenak, "hanya dengan menyentuh mereka?"

"... Kalian selalu berkata kepada rakyat, jangan menyentuh daun berbentuk hati dengan serabut putih....," gumam Darya hati-hati, "jadi Gympie-Gympie pasti berbahaya."

"Memang berbahaya, tapi kau tidak tahu seberapa besar bahayanya, bukan?"

"Kalau tidak bisa disentuh, pasti sangat berbahaya, bukan?"

"Baiklah, kau memang benar," Aria akhirnya berujar. "Kami begitu terkejut kau dapat menggunakan tanaman yang paling, paling menyiksa di seluruh daratan ini."

Darya hanya menatap nelangsa. Terlalu merasa bersalah untuk kaget. Pantas saja orang-orang itu langsung melepuh kulitnya.

Aria mendekatkan wajahnya pada Darya. "Ini," lanjutnya dengan pelan, pasti ada yang disembunyikan, "adalah rahasia yang selalu disimpan oleh petinggi hunian turun-temurun. Bahkan semenjak masa pengabdian Favian pertama kita sudah tidak boleh disebarluaskan. Kau sudah melihat dampaknya, Darya. Terbayang olehmu kan, bila setiap orang mengetahuinya?"

"... Penyalahgunaan... Perang yang lebih pedih... Rasa sakit yang tidak terpungkiri... Terlalu kejam," bisik Darya. "Menentang hukum Tenalach. Kita pantang untuk menyakiti... kalau memang perlu, akhiri dengan cepat."

"Benar," balas wanita yang duduk di hadapannya. "Tapi aku yakin benar dari reaksimu, kau takkan membawa ini lebih jauh lagi, Darya. Terlebih lagi adikmu. Kami hanya berharap, kau takkan menyebut-nyebut soal ini kepada yang lain. Sungguh, jangan pernah membuka mulut akan hal ini."

Aegis of the ForestTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang