Sprouts

14 5 0
                                    

Present...

"Memangnya boleh pergi keluar tanpa sepengetahuan orang dewasa yang lain?" 

Terdengar gemerisik semak-semak, sebelum sepasang tangan menyibaknya. Seraut wajah menyembul di antaranya, mengawasi keadaan hutan dengan ragu-ragu. Was-was.

Berlainan dengannya, Denver Triggs menyibak semak dan melangkah keluar tanpa ragu. Ia meregangkan tubuh dan menghirup udara segar. Merasa bebas setelah beberapa waktu lalu menyelinap dan bersembunyi dari penjaga-penjaga hunian. Memang anak bandel, ia tahu orang-orang yang berhadapan dengannya berpikir demikian. 

"Boleh boleh saja. Kita bisa kembali sebelum Nenek mengantar makan siang!"
"Aku tidak ingin keluar pagi-pagi hari i-"
"Sinar matahari akan membuat Kakak lebih sehat, tau!"
"Sinar matahari tertutup kanopi hutan."

"Ummm... bergerak akan membuat Kakak sehat?" Darya hanya dapat menahan tawa mendengar alasan-alasan adiknya. "Ayolaah, Kakak tidak mau aku mati keracunan karena salah memilih jamur kan??"

"Kau mau memakannya mentah-mentah? Jorok," tawa geli membuat Denver merengut. Darya tak mampu menahan senyum lagi. Ia melangkah mendekati sang adik, kemudin menepuk kepalanya. "Baiklah, baiklah... bisa saja kau terkena racun saat menyentuhnya, bukan? Aku terpaksa ikut." Dan astaga, secepat itu pula senyum adiknya merekah, disusul sorakan gembira. Tidak ada kata terpaksa untuk Denver ya... Yang penting mau.

Mengumpulkan jamur di daerah luar hunian adalah salah satu kegiatan yang kerap dilakukan Denver. Tentu saja Denver suka pergi dengan teman-temannya, diawasi seorang penduduk dewasa. Tapi kali ini ia ingin pergi berdua saja dengan Darya. Seorang anak yang berusia belia tahu, betapa menjemukan hanya dapat tinggal di hunian. Orangtua mereka jarang sekali mengijinkan Darya pergi ke kawasan luar karena kondisi tubuhnya yang lemah. Darya tahu banyak. Ia yakin Darya mampu mengidentifikasi puluhan jenis jamur, mana yang bisa dan tidak bisa dimakan, dan sebagainya. 

Buktinya, sudah berkali-kali Darya membimbing sang adik untuk memetik jamur-jamur yang aman, dan hapal nama-nama mereka. Ia juga menyelamatkan Denver beberapa kali sebelum tangan kecil itu menyentuh jamur beracun. Kakaknya memang jenius, pikirnya.

"Yang ini... serius bisa dimakan??"
"Yap. Orang menyebutnya jamur bola raksasa, yah, seperti yang kau lihat sendiri."
"Tapi bentuknya..."

Kedua tangan Denver menimang-nimang jamur yang lebih mirip dengan gumpalan putih besar. Dari bentuknya saja agak meragukan untuk dimakan, tidak terlalu mengundang selera. "Ini takkan membunuh kita?"

"Jamur Amanita yang hampir kau petik tadi yang akan membunuh kita," tukas Darya. Denver ingat kakaknya nyaris tersungkur hanya untuk menahan tangan adiknya yang nyaris menyentuh caping jamur berwarna kuning kehijauan itu.

"Hehee, berati benar bukan, Kakak memang harus menemaniku mencari jamur. Aku jadi belajar banyak hal dan tidak mati di tengah," kekeh Denver tanpa dosa. Bila begini, Darya hanya dapat mengelus dada, dan Denver akan tertawa lebih lugu lagi. Kemudian mengalihkan topik pembicaraan, "apa yang bisa dibuat dengan jamur ini?"

"Beri saja pada ibu nanti. Kau akan terkesan," ujar Darya sembari bangkit dari duduk dan meletakkan jamur itu ke dalam keranjang. Setelahnya, Darya menoleh kanan-kiri, terlihat cemas. Denver pikir, tidak mungkin kakaknya mengkhawatirkan kemungkinan tersesat, tidak, ia mengenal kawasan hutan semudah membalikkan tangan. Toh, tidak pernah ada yang benar-benar tersesat. Kata Tetua, selalu ada Bisikan Angin yang menuntun anak-anak baik kembali pada lindungan alam. Denver adalah anak baik yang tidak pernah menyiksa binatang, jadi ia percaya.

Ah tetapi, kalau dipikir-pikir lagi, semenjak Denver diasuh oleh keluarga Fallow, sang kakak tiri sering menoleh dan menelengkan kepala tanpa sebab. Bahkan di tengah pembicaraan sekalipun. Berapa kali Denver benar-benar beradu tinju dengan anak-anak lain yang berani mengatakan kakaknya adalah orang aneh berkelainan karena hal itu?

"Ada apa, Kakak?" ia memutuskan untuk tetap menanyakan. Siapa tahu Darya benar-benar melihat sesuatu yang menarik perhatiannya.

Kali ini Darya menoleh padanya dengan senyum tipis terukir di wajah. Ah, syukurlah tidak ada apa-apa kalau begitu.

"Ayo kita pulang sekarang ke hunian, Denver? Aku akan mencuci hasil petikan kita, dan kau bisa mengunjungi Paman Strom sampai aku selesai."

Denver mengangguk riang. "Oke!" ia beranjak bangun, mengikuti Darya yang sudah membawa keranjang yang sudah penuh dan berjalan pergi.

Ah, kenapa semak itu terus berkerisik sedari tadi? Penasaran, Denver mendekatinya.

"Kakak!" sebuah suara membuat Darya yang sudah menghentikan langkah, menoleh padanya, "lihat kemari!"

Darya menghampiri Denver yang sudah berada beberapa meter jauh darinya. Jangan sampai ia menyentuh jamur beracun lagi. 

Namun alih-alih menemukan jamur, Denver menunjuk sesosok makhluk yang berbaring miring di atas rerumputan. Bulu coklat dengan ekot putih, kedua telinga panjang, berbaring miring. "Kelinci liar," gumam Darya dan berlutut di dekatnya. Tanpa diberi isyarat, Denver ikut duduk di sampingnya. Ikut mengamati.

"Ada luka di sebelah kaki belakangnya, Kak!" tunjuknya.

Darya mengangguk dan melepas cape (mantel) nya. Digunakannya untuk membalut tubuh kelinci itu dengan hati-hati. "Biar kubawa?" Denver menawarkan, tapi dibalas oleh gelengan Darya.

"Jangan, aku saja yang menanganinya, Denver. Seekor kelinci liar tidak boleh diangkat terlalu tinggi dari tanah, jadi kau harus membungkukkan tubuhmu. Kalau tidak, ia akan menganggapmu seekor elang yang hendak memangsanya dan kemudian menggigitmu," jelas Darya sembari melakukan apa yang baru saja ia jelaskan.

"Ah aku mengerti! Waa, kau memang tahu banyak, Kakak."
"Terima kasih. Ini hasilnya membaca, Denver"
"Cocok jadi seorang Fa-."

Darya menggelengkan kepala, lagi-lagi menepis. "Tidak, Cukup soal itu, Denver," balasnya, anehnya nyaris mendesis. Mukanya terlihat gusar. Denver sedikit berjengit kaget dibuatnya. "Ah maaf, Denver. Eehm, ayo kita cari air untuk setidaknya membersihkan lukanya. Seharusnya aliran sungai tidak berada jauh dari sini,"

Darya melangkah lebih cepat, Denver agak tertinggal di belakangnya. Memiringkan kepala melihat perubahan mendadak Kakaknya, ia tetap mengikutinya.

Hingga satu langkah dari Darya membawa ketiganya pada petaka.

Tap.

"KAKAK, AWAS!"

***

Hello Bello, Kairu here. Segini dulu ya chapter 1!

Read+vote+comment please. Thx^^

Aegis of the ForestTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang